Thursday, 12 December 2019

Penumpang Gelap dan Politik 2 Kaki

Jumat, 16 Agustus 2019 — 6:46 WIB
SENTIL-PENUMPANG-GELAP

PENUMPANG gelap mendadak ngetop. Ini setelah Prabowo Subianto, Ketum Partai Gerindra, mengaku mendepak penumpang gelap yang terindikasi bisa membuat kisruh ketika proses Pilpres 2019 berlangsung. Si penumpang mengompor-ngompori Prabowo supaya pendukungnya turun ke jalan ketika persidangan sengeta Pilpres berlangsung. Tapi Prabowo menolak.

Siapa penumpang gelap itu ? Prabowo tak mengungkap secara gamblang. Yang jelas, penumpang misterius itu kini jadi populer hingga membuat publik penasaran. Namanya juga gelap, ya tidak kelihatan siapa orangnya. Penumpang gelap alias stowaway, ilegal, tak mengantongi tiket, dan di manapun ditolak bahkan diusir.

Penumpang gelap selalu ada di mana saja, juga di dunia politik. Mendompleng dengan tujuan kepentingan pribadi atau kelompoknya, bisa juga tujuan mata-mata. Tapi, dalam kontestasi politik, bukan cuma ada penumpang gelap. Politik ‘dua kaki’ juga ada yang dijalankan elit tertentu. Kaki kanan di sini, kaki kiri di seberang.

Fenomena politik dua kaki juga dilakukan partai politik dalam kontestasi pemilu. Dengan kata lain, cari selamat. Bagai air di atas daun talas, bimbang dan tak punya pendirian. Meski dicibir, dianggap tidak punya prinsip, tapi ada saja partai politik yang memainkan strategi ini demi memperoleh ‘kue’ kekuasaan siapa pun yang berkuasa. Tak peduli sikap ini bisa menjadi bumerang, karena suara konstituennya bisa tergerus.

Politisi ‘kutu loncat’ juga banyak bermunculan di negeri ini. Dinamika politik membuat politisi yang menyimpan nafsu besar berkuasa, dengan mudahnya meloncat ke partai lain. Tujuannya, demi kepentingan diri sendiri. Katanya, dalam dunia politik tak ada lawan dan kawan abadi, yang ada hanya kepentingan.

Yang tak kalah bahaya, adalah ‘musang berbulu domba’, musuh dalam selimut. Ini yang paling berbahaya. Kutu loncat, penumpang gelap, maupun politisi berkaki dua bisa saja berubah jadi ‘musang berbulu domba’ atau ‘srigala berbulu domba’. Bahkan dalam sebuah pemerintahan, bisa jadi si musang itu ada. Mereka menjadi kutu busuk yang merongrong pemerintahan.

Musang maupun srigala harus diwaspadai. Karena selain merongrong, juga bisa jadi berkhianat kepada pimpinan, bahkan kepada rakyat. Di sinilah kepala pemerintahan, ketua parpol, dituntut jeli menakar moral politisi di lingkarannya. Supaya tidak menjadi duri dalam daging. (adri)