Minggu, 29 Desember 2019

Banyaknya Kasus Korupsi Perlu Nyinyir Atau Diam?

Senin, 28 Agustus 2017 — 6:16 WIB
fahri

KALAU tidak ngomong nyeleneh, bukanlah Fahri Hamzah. Kali ini dia mengatakan, Pansus Angket KPK harus panggil Presiden Jokowi. Alasannya, beliau bicara anti-korupsi, tetapi hampir setiap hari KPK nangkapi koruptor.

Masih kata Fahri Hamzah, banyaknya oknum tertangkap basah oleh KPK karena korupsi, itu justru sebagai kegagalan dalam menangani korupsi.

Menurut dia, banyaknya kasus korupsi yang terungkap, tidak dapat disebut sebagai prestasi. Jika mengikuti alur pikiran Fahri Hamzah, jika presiden diam saja soal korupsi, dan korupsi terus berjalan karena tak ada penangkapan; itu sebuah prestasi?

Bagaimana mungkin Presiden harus diam saja soal korupsi. Presiden nyinyir soal korupsi saja kasus korupsi terus bermunculan, apa lagi diam seribu basa, tentu tambah ndlindhit (nekad) kata orang Jawa.

Sebetulnya Jokowi tahu persis resepnya berantas korupsi, yakni koruptor dihukum mati, meski hanya kisaran Rp1 miliar. Tapi jika aturan ini diberlakukan, dijamin Komnas HAM dan Natalius Pigei-nya pasti akan mencak-mencak.

Nah, gara-gara Fahri Hamzah menilai Jokowi gagal memberantas korupsi, kini dia justru menyarankan Pansus Angket KPK panggil presiden. Jaman SBY memerintah, korupsi juga sudah marak, tapi kenapa Fahri tidak menyarankan DPR panggil presiden.

Wapres JK sudah menjawab kekesalan Fahri Hamzah ini. Kata beliau, pansus tak berkewenangan memanggil Jokowi. Sebab, tidak ada relevansi antara Jokowi dengan tupoksi Pansus Hak Angket KPK. “Tidak relevan, tidak ada hubungannya,” kata Wapres.

Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan Asrul Sani, juga menilai, usulan Fahri Hamzah itu hanya usulan pribadi, bukan kelembagaan. DPR tak perlu memanggil presiden, karena tak ada hubungannya. Bahkan Sekjen Golkar Idrus Marham minta, Pansus KPK yang fokus saja, jangan melompat-lompat. Kanguru…ngkali ya.- slontrot