JAKARTA – Perlakuan PLN selama ini dinilai diskriminasi. Karenanya, masyarakat menuntut keadilan saat terjadi pemadaman listrik.
“Jika masyarakat nunggak bayar listrik, PLN langsung mencabut meteran listrik,” kata pengamat ekonomi politik, Salamuddin Daeng, Rabu (7/8/2019).
Demikian mereka yang menggunakan meteran prabayar. Jika tak memiliki buat membeli pulsa (token), listrik di rumahnya praktis tidak menyala. Namun perlakuan perusahaan berlambang petir ini bertolak belakang, jika yang ‘ngemplang’ pemerintah dan kalangan dunia usaha.
Vice President Public Relation, Dwi Suryo Abdullah, saat dikonfirmasi Pos Kota, Rabu (7/8/2019) malam, mengungkap kebijakan yang dilakukan PLN selalui perpijak pada aturan yang ada. Jika tidak ada aturannya, pihaknya tak mungkin menerapkan kepada konsumen atau pelanggan.
“Jadi semua kebijakan diterapkan PLN selalu mengacu pada Peraturan Menteri ESDM, termasuk masalah kompensasi yang kini ramai terkait padamnya aliran listrik ,” katanya.
Utang Pemerintah
Salamuddin mengaku utang pemerintah ke PLN cukup besar jumlahnya. Jika utang ini tidak dibayar, PLN makin cepat bangkrut dan akan banyak lagi pembangkit yang akan shutdown.
Dalam laporan keuangan 2018 tercatat PLN alami kerugian sebelum subsidi senilai Rp35,29 triliun lebih. Besarnya utang pemerintah dari kompensasi atas pergantian biaya pokok penyediaan (BPP) tenaga listrik Rp 23,17 triliun lebih.
Kompensasi dari Pemerintah adalah penggantian BPP tenaga listrik beberapa golongan pelanggan yang tarif penjualan tenaga listriknya lebih rendah dan belum diperhitungkan dalam subsidi diakui sebagai pendapatan atas dasar akrual.
Jika seluruh utang pemerintah dibayar maka PLN paling sedikit akan memperoleh laba tahun berjalan 2018 senilai Rp. 11,575 triliun.
Namun, Salamuddin mengungkap tidak gampang menagih utang tersebut, karena pemerintah memiliki utang sangat besar, baik utang luar negeri dari lembaga keuangan internasional dan negara lain serta utang obligasi negara.
Berdasarkan surat Menteri Keuangan Republik Indonesia No. S-440/MK.02/2018 tanggal 28 Juni 2018, pemerintah menyetujui penggantian BPP tenaga listrik atas beberapa golongan pelanggan yang tarif penjualan tenaga listriknya lebih rendah dan belum diperhitungkan dalam subsidi listrik 2017 sebesar Rp7,456 triliun lebih.
Selanjutnya pada tanggal 16 April 2019, BPK RI menerbitkan Laporan Hasil Pemeriksaan dengan tujuan tertentu subsidi listrik tahun anggaran 2018 No.01/PDITSubsidi/PJ/04/2019 menetapkan bahwa hasil audit perhitungan subsidi listrik 2018 sebesar Rp48,101 triliun lebih.
BUMN dan Swasta
Selain pemerintah, pihak lain juga ‘ngemplang’ utang listrik kepada PLN yang jumlahnya sangat besar seperti BUMN dan pihak swasta lainnya. Dalam laporan keuangan PLN disebutkan Piutang tidak lancar PLN yakni Piutang pihak berelasi Rp1,031 trilun lebih, piutang lain-lain Rp961 miliar.
Kemudian piutang tidak lancar kepada pihak berelasi Rp593,646 miliar, kepada pihak ketiga atau swasta mencapai Rp23,209 triliun lebih dan piutang lain mencapai Rp9,507 trilun.
Begitu besarnya utang pemerintah dan swasta besar kepada PLN. Jika pemerintah dan swasta besar tak segera bayar utang, PLN pasti megap-megap menyalakan listrik. Karena utang PLN sendiri sangat ‘gendut’. (rizal/imam/bi)