Oleh Harmoko
SUDAH menjadi fitrah manusia untuk hidup berkelompok, bermasyarakat atau hidup dalam kebersamaan. Sehebat apa pun kemampuannya, setinggi apa pun ilmu, pangkat, jabatan dan kedudukan, seluas apa pun hartanya, sebagai manusia akan selalu membutuhkan bantuan orang lain. Itulah fitrah manusia sebagai makhluk sosial yang sejak kelahirannya sudah dalam satuan yang terkecil, yakni keluarga. Kemudian tumbuh berkembang dalam kelompok masyarakat, lebih luas lagi bangsa dan negara.
Maknanya hidup bermasyarakat – hidup dalam kebersamaan adalah sebuah kebutuhan. Ini sejatinya modal utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang jika dikemas sedemikian rupa menjadi sebuah kekuatan besar mengisi kemerdekaan, demi mewujudkan cita – cita negeri kita.
Hanya saja realita tak dapat dipungkiri, kebersamaam pada masa perjuangan tentu sangatlah jauh berbeda dengan era sekarang. Begitu pun ketika kita dihadapkan kepada upaya membangun kebersamaan yang di dalamnya terdapat keberagaman. Beragam dalam tradisi,budaya, etnis dan agama. Sebagai bangsa yang majemuk dan multikultural, kadang dihadapkan pada realitas yang cukup rumit.
Bung Karno sendiri sejak awal kemerdekaan telah berpesan kepada pemuda, generasi penerus bangsa lewat pernyataannya “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah. Perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri”
Saat itu, boleh jadi kita bertanya – tanya bagaimana mengusir penjajah lebih mudah, ketimbang melawan bangsa sendiri? Tetapi pesan itu belakangan dapat kita cerna, apa makna yang terkandung di dalamnya.
Melawan bangsa sendiri bukan berarti berperang secara fisik sebagaimana mengusir penjajah.
Kalau pun dikatakan berperang adalah perang melawan ego pribadi dan intoleransi. Satu sikap yang jauh dari nilai – nilai dasar manusia sebagai makhluk sosial.
Era kini, kita menyaksikan keberagaman masih menjadi embrio pemicu terjadinya konflik, permusuhan dan kebencian satu sama lain. Meski konflik tersebut tidak semata berlatar belakang perbedaan, tetapi dapat menghambat terciptanya kebersamaan.
Membangun kebersamaan di atas keberagamam memang memerlukan waktu dan proses yang sangat panjang. Tidak semudah membalik telapak tangan. Perlu kesabaran dan kesadaran bagi semua pihak yang terlibat di dalamnya. Perlu ketulusan untuk melibatkan diri dan menjadi bagian dari orang lain, bagian dari masyarakat.
Jika sudah melebur dalam keluarga besar yang disebut bangsa, hendaknya disertai dengan menanggalkan ego pribadi dan kelompok. Kedua ego tadi ikut melebur ke dalam ego yang lebih besar lagi, yakni ego (kepentingan) nasional.
Kita tentu berkehendak hidup bersama bukan sebatas bersama dalam artian fisik, tetapi ada kebersamaan. Ini dibutuhkan sikap toleransi, saling peduli, saling berbagi sebagaimana sebuah keluarga.
Menahan diri untuk tidak terprovokasi. Singkirkan prasangka buruk dengan mencari- cari kesalahan orang lain. Tak ada lagi kepentingan pribadi dan kelompok karena semuanya sudah terakomodir dan melebur menjadi kepentingan bersama.
Harapan ini bukan mimpi, tetapi obsesi yang diyakini dapat terealisasi, jika negara melalui aparat dan pejabatnya di semua tingkatan, baik di pusat dan daerah tampil memberi teladan melalui upaya konkret menyatukan keberagaman.
Untuk membangun kebersamaan, perlu mewujudkan kesetaraan bagi seluruh rakyat.
Kesetaraan memperoleh keadilan, kesetaraan memperoleh pembangunan dan kesetaraan menikmati pemerataan pembangunan.
Kuncinya membangun kebersamaan adalah mewujudkan kesetaraan.
Secara etimologi, kesetaraan berarti sejajar – sepadan – seimbang – sama tingkatannya ( kedudukannya).
Dalam konteks kebersamaan, kesetaraan adalah memiliki status yang sama, hak yang sama di bawah hukum, kesempatan yang sama dalam mengakses hasil pembangunan.
Selama masih ada ketimpangan, selagi belum ada kesetaraan, maka upaya membangun kebersamaan guna memperkokoh persatuan dan kesatuan akan terus menghadapi problema.
Itu tanggung jawab negara mewujudkannya melalui aparatur pemerintahannya sebagaimana amanat UUD 1945 yang mengajarkan kesetaraan, kemajemukan, dan kebersamaan.
Bagi kita sebagai anggota keluarga besar bangsa, sebagai warga negara dituntut kepedulian dari masing-masing pribadi dalam membangun kebersamaan. Sekecil apa pun peran kita sebagai anggota masyarakat akan menjadi sumbangsih bagi bangsa dan negara menggapai cita- cita.
Mari kita bangun kebersamaan dengan menyingkirkan problema dari hadapan kita. Membangun kebersamaan bukan sebatas kata, tapi juga perlu aksi nyata.
Ada ungkapan “Bersama-sama adalah sebuah awal, menjaga kebersamaan adalah sebuah perkembangan dan bekerja bersama adalah sebuah kesuksesan.”
Mari nikmati semua kebersamaan, sebelum semuanya hanya tinggal kenangan. (*).