POLEMIK Revisi Undang-undang KPK belum berhenti. Penolakan bukan hanya datang dari kalangan internal KPK sendiri. Gelombang protes juga muncul dari berbagai elemen, termasuk kalangan akademisi. Muncul juga petisi penolakan yang ditandatangani oleh ratusan dosen sejumlah perguruan tinggi negeri dan swasta dari berbagai daerah.
Fakta ini menunjukkan Revisi UU KPK menuai masalah. Seluruh fraksi parpol di DPR RI telah menyetujui Revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menjelang masa tugas mereka berakhir tak sampai sebulan lagi. Dewan menilai, merevisi sebuah Undang-undang adalah kewenangan legislatif dan eksekutif.
Dari kalangan KPK, ada dua hal yang dikritisi mereka. Pertama, hasil seleksi Capim KPK karena dari 10 nama yang kini telah diserahkan ke DPR, ada kandidat yang dinilai bermasalah. Kedua, menolak keras Revisi UU KPK lantaran dianggap melemahkan lembaga anti-rasuah ini. Lembaga ini bisa rontok lantaran banyak kewenangan yang ‘diamputasi’.
Kalangan akademisi juga mengambil sikap menolak Revisi UU KPK. Tercatat sudah 251 dosen UGM menandatangani petisi penolakan dan kemungkinan akan terus bertambah. Sikap ini diikuti pulah oleh dosen-dosen Universitas Diponegoro, Semarang, serta Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Petisi akan diserahkan ke Presiden Jokowi.
Celakanya, selain gelombang dukungan terhadap KPK dijawab dengan aksi massa yang berseberangan sikap alias mendukung Revisi UU KPK. Alhasil, timbul aroma politik yang mengusung kepentingan dalam persoalan ini. Kalau hal ini dibiarkan, tidak berlebihan bila ada yang memprediksi akan ada pergolakan penolakan maupun dukungan.
Derasnya penolakan dari berbagai pihak, harus disikapi serius. Bukan sebaliknya didiamkan dan dianggap angin lalu, yang akan berlalu begitu saja. Munculnya petisi penolakan, menyiratkan ada kekhawatiran pemberantasan korupsi di negeri ini bakal jalan di tempat lantaran KPK ‘diamputasi’.
Kekhawatiran ini sah-sah saja karena rakyat Indonesia sampai detik ini tetap mendukung KPK dalam memberangus praktik curang korupsi dan suap. Polemik ini harus segera diselesaikan. Presiden Jokowi sebaiknya memanggil semua pihak yang berkepentingan, baik KPK maupun wakil rakyat dan segera mengambil solusi. Karena KPK harus dikuatkan, bukan sebaliknya, dilemahkan. **