Oleh Harmoko
SERING kita dengar ungkapan yang menyebutkan bahwa dunia ini cukup untuk
                    memenuhi kebutuhan manusia, bukan untuk memenuhi keserakahan manusia.
                    Bahkan, Mahatma Gandhi lewat kata mutiara yang mendunia mengatakan : *Bumi
                    ini cukup untuk tujuh generasi, namun tidak akan pernah cukup untuk tujuh
                    orang serakah.*
Ini dapat dimaknai bahwa keserakahan dapat merusak segalanya. Merusak
                    tatanan kehidupan bermasyarakat, yang tidak saja merugikan diri sendiri,
                    lingkungan sekitarnya. Juga perekonomian bangsa dan negara.
Arti kata serakah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah
selalu hendak memiliki lebih dari yang dimiliki; loba; tamak; rakus.
Berati tak ada kepuasan dalam dirinya. Ingin selalu lebih segalanya dari
                    orang lain, baik soal harta benda, kepemilikan pangkat dan jabatan serta
                    status sosial lainnya.
Agama apa pun mengajarkan pemeluknya menjauhkan diri dari sikap tamak dan
                    serakah. Bahkan, agama sangat membenci sikap serakah. Keserakahan merupakan
                    perilaku hina dalam agama. Keberadaannya bukan saja dibenci penduduk bumi,
                    juga dibenci penduduk langit.
Mengapa? Sikap serakah mendatangkan beragam penyakit, setidaknya penyakit
                    hati yang berakibat buruk kepada lingkungan sosial. Penyakit dimaksud
                    seperti sifat iri dan dengki, takabur, sombong, kesewenang- wenangan yang
                    berujung kepada kian menyuburkan praktik gratifikasi, manipulasi dan
                    korupsi.
Para ahli menelaah orang tamak atau serakah lazimnya memiliki sejumlah ciri
                    – ciri, di antaranya sbb:
*Pertama*, tidak mensyukuri nikmat Allah yang telah diberikan.
*Kedua, *merasa tidak cukup padahal telah banyak mendapatkan nikmat,
*Ketiga*, ingin mempunyai sesuatu yang dipunyai orang lain;
*Keempat*, kikir atau tidak mau bersedekah kepada orang yang lebih butuh
*Kelima*, tidak menghargai pemberian orang lain apabila tidak sesuai dengan
                    keinginannya
                    *Keenam*, semua kegiatannya selalu berorientasi kepada materi,
*Ketujuh*, kurang memiliki kepedulian sosial.
Sikap – sikap tersebut adalah cermin sifat mementingkan diri sendiri, tak
                    peduli dengan lingkungan sekitarnya. Padahal manusia adalah makhluk
                    individu dan juga sosial.Tidak ada satu pun manusia yang dapat hidup tanpa
                    bantuan orang lain.
Dalam era kekinian, menghadapi begitu banyak persaingan, perekonomian yang
                    belum total membaik, dibutuhkan sikap peduli untuk saling berbagi. Saling
                    menyantuni satu sama lain. Bukan saja orang kaya harus menyisihkan sebagian
                    hartanya untuk mereka yang membutuhkan. Bahkan juga menyisihkan kemampuan
                    yang dimiliki untuk kemajuan masyarakat sekitar. Seperti networking, akses
                    jaringan pasar dan permodalan dari mereka yang pengusaha besar kepada
                    pengusaha kecil dan menengah.
Intinya mereka yang lebih mampu harus memberi sebagian kemampuannya kepada
                    yang belum mampu. Apa pun bentuk kemampuan yang dimiliki dan yang layak
                    diberikan, harus diikhlaskan demi pemerataan atau kebersamaan.
Salah satu proklamator negara, Bung Hatta sejak awal kemederkaan sudah
                    memikirkan bagimana melindungi mereka yang lemah dalam kemampuan ekonomi.
                    Bagaimana upaya menciptakan keadilan dan kemakmuran bersama sebagai upaya
                    memperkecil kesenjangan. Itulah sebabnya perekenomian negeri kita perlu
                    dibangun berdasarkan asas kekeluargaan, yang kemudian kenal dengan nama
                    koperasi.
Persoalannya kemudian menjadi pertanyaan apakah koperasi era kini?
                    Seolah-olah “mati suri”, sementara akibat perkembangan teknologi informasi
                    dan komunikasi , satu di antaranya adalah tererosinya sikap peduli bagi
                    sementara kalangan.
Di sisi lain, upaya menumpuk kekayaan dengan beragam cara, meskipun
                    melanggar etika dan norma, masih saja dilakukan oleh sementara kalangan
                    yang memang memiliki kemampuan itu. Masih banyak kasus korupsi terjadi ,
                    lebih – lebih yang dilakukan oleh pejabat publik yang berkolusi dengan para
                    pengusaha, menjadi satu indikasi yang perlu diantisipasi bersama.
Mari kita bangun kebersamaan berbagi! Menyisihkan sebagian “kemampuan”
                    untuk mereka yang membutuhkan demi menjadikannya gerakan moral.
Kita tidak dilarang untuk kaya. Tetapi, selain kaya harta benda, juga “kaya
                    hati”.
Kaya hati adalah kaya jiwanya. Seseorang merasa cukup atas rezeki yang
                    diperoleh. Tidak berharap tambahan, tanpa kebutuhan. Tidak terus menuntut,
                    apalagi dengan cara melanggar etika dan norma. Itulah sejatinya sikap tidak
                    serakah.
Filosofi Jawa mengajarkan “*Sapa serakah , ora berkah*” – siapa yang
                    serakah tidak akan mendapatkan keberkahan. Tidak akan mendatangkan
                    kenyamanan, ketenangan dan kedamaian hidup.
Hanya satu yang dibolehkan serakah menurut agama, yakni “*serakah menuntut
                    ilmu*” (*).










