Thursday, 05 December 2019

Sisihkan Sebagian

Kamis, 12 September 2019 — 6:42 WIB

Oleh Harmoko

SERING kita dengar ungkapan yang menyebutkan bahwa dunia ini cukup untuk
memenuhi kebutuhan manusia, bukan untuk memenuhi keserakahan manusia.
Bahkan, Mahatma Gandhi lewat kata mutiara yang mendunia mengatakan : *Bumi
ini cukup untuk tujuh generasi, namun tidak akan pernah cukup untuk tujuh
orang serakah.*

Ini dapat dimaknai bahwa keserakahan dapat merusak segalanya. Merusak
tatanan kehidupan bermasyarakat, yang tidak saja merugikan diri sendiri,
lingkungan sekitarnya. Juga perekonomian bangsa dan negara.

Arti kata serakah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah

selalu hendak memiliki lebih dari yang dimiliki; loba; tamak; rakus.

Berati tak ada kepuasan dalam dirinya. Ingin selalu lebih segalanya dari
orang lain, baik soal harta benda, kepemilikan pangkat dan jabatan serta
status sosial lainnya.

Agama apa pun mengajarkan pemeluknya menjauhkan diri dari sikap tamak dan
serakah. Bahkan, agama sangat membenci sikap serakah. Keserakahan merupakan
perilaku hina dalam agama. Keberadaannya bukan saja dibenci penduduk bumi,
juga dibenci penduduk langit.

Mengapa? Sikap serakah mendatangkan beragam penyakit, setidaknya penyakit
hati yang berakibat buruk kepada lingkungan sosial. Penyakit dimaksud
seperti sifat iri dan dengki, takabur, sombong, kesewenang- wenangan yang
berujung kepada kian menyuburkan praktik gratifikasi, manipulasi dan
korupsi.

Para ahli menelaah orang tamak atau serakah lazimnya memiliki sejumlah ciri
– ciri, di antaranya sbb:

*Pertama*, tidak mensyukuri nikmat Allah yang telah diberikan.

*Kedua, *merasa tidak cukup padahal telah banyak mendapatkan nikmat,

*Ketiga*, ingin mempunyai sesuatu yang dipunyai orang lain;

*Keempat*, kikir atau tidak mau bersedekah kepada orang yang lebih butuh

*Kelima*, tidak menghargai pemberian orang lain apabila tidak sesuai dengan
keinginannya
*Keenam*, semua kegiatannya selalu berorientasi kepada materi,

*Ketujuh*, kurang memiliki kepedulian sosial.

Sikap – sikap tersebut adalah cermin sifat mementingkan diri sendiri, tak
peduli dengan lingkungan sekitarnya. Padahal manusia adalah makhluk
individu dan juga sosial.Tidak ada satu pun manusia yang dapat hidup tanpa
bantuan orang lain.

Dalam era kekinian, menghadapi begitu banyak persaingan, perekonomian yang
belum total membaik, dibutuhkan sikap peduli untuk saling berbagi. Saling
menyantuni satu sama lain. Bukan saja orang kaya harus menyisihkan sebagian
hartanya untuk mereka yang membutuhkan. Bahkan juga menyisihkan kemampuan
yang dimiliki untuk kemajuan masyarakat sekitar. Seperti networking, akses
jaringan pasar dan permodalan dari mereka yang pengusaha besar kepada
pengusaha kecil dan menengah.

Intinya mereka yang lebih mampu harus memberi sebagian kemampuannya kepada
yang belum mampu. Apa pun bentuk kemampuan yang dimiliki dan yang layak
diberikan, harus diikhlaskan demi pemerataan atau kebersamaan.

Salah satu proklamator negara, Bung Hatta sejak awal kemederkaan sudah
memikirkan bagimana melindungi mereka yang lemah dalam kemampuan ekonomi.
Bagaimana upaya menciptakan keadilan dan kemakmuran bersama sebagai upaya
memperkecil kesenjangan. Itulah sebabnya perekenomian negeri kita perlu
dibangun berdasarkan asas kekeluargaan, yang kemudian kenal dengan nama
koperasi.

Persoalannya kemudian menjadi pertanyaan apakah koperasi era kini?
Seolah-olah “mati suri”, sementara akibat perkembangan teknologi informasi
dan komunikasi , satu di antaranya adalah tererosinya sikap peduli bagi
sementara kalangan.

Di sisi lain, upaya menumpuk kekayaan dengan beragam cara, meskipun
melanggar etika dan norma, masih saja dilakukan oleh sementara kalangan
yang memang memiliki kemampuan itu. Masih banyak kasus korupsi terjadi ,
lebih – lebih yang dilakukan oleh pejabat publik yang berkolusi dengan para
pengusaha, menjadi satu indikasi yang perlu diantisipasi bersama.

Mari kita bangun kebersamaan berbagi! Menyisihkan sebagian “kemampuan”
untuk mereka yang membutuhkan demi menjadikannya gerakan moral.

Kita tidak dilarang untuk kaya. Tetapi, selain kaya harta benda, juga “kaya
hati”.

Kaya hati adalah kaya jiwanya. Seseorang merasa cukup atas rezeki yang
diperoleh. Tidak berharap tambahan, tanpa kebutuhan. Tidak terus menuntut,
apalagi dengan cara melanggar etika dan norma. Itulah sejatinya sikap tidak
serakah.

Filosofi Jawa mengajarkan “*Sapa serakah , ora berkah*” – siapa yang
serakah tidak akan mendapatkan keberkahan. Tidak akan mendatangkan
kenyamanan, ketenangan dan kedamaian hidup.

Hanya satu yang dibolehkan serakah menurut agama, yakni “*serakah menuntut
ilmu*” (*).