JAKARTA – DPR dan Presiden baru saja mengesahkan revisi UU NO 30 Tahun 2002 tentang KPK. Pengesahan revisi UU KPK menabrak sejumlah ketentuan yang besar kemungkinan akan menjadikan proses revisi UU KPK ini menjadi cacat formil.
Hal itu disampaikan oleh Ferdian Andi, peneliti di Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum), yang juga pengajar di Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara, Selasa (17/9/2019). Hari ini juga, RUU KPK tersebut senyatanya telah mendapat persetujuan rapat paripurna DPR untuk disahkan menjadi UU KPK.
Menurut Ferdian, proses masuknya revisi UU KPK sebagai inisiatif DPR hingga pembahasan bersama DPR dan Presiden secara nyata telah mengabaikan partisipasi masyarakat.
“Partisipasi yang muncul dari publik melalui berbagai saluran tak dijadikan bahan masukan oleh Presiden dan DPR dalam pembahasan draf perubahan UU KPK,’ ujarnya.
Padahal, lanjut dia, prinsip dasar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagaimana rumusan di Pasal 5 UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undnangan di antaranya adanya “keterbukaan”.
Partisipasi masyarakat ini sebagai ajang “konsultasi publik” sebagaimana diatur dalam Pasal 188 ayat 1-3 Perpres No 87 Tahun 2014 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dan patut dicatat, partisipasi masyarakat itu letaknya mulai dari proses penyiapan RUU, pembahasan RUU hingga pelaksanaan UU.
“DPR dan Presiden mengabaikan elemen dasar dalam pembentukan perubahan UU KPK ini, yakni keterbukaan dan partisipasi masyarakat. Keduanya ibarat koin mata uang, tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya dalam pembentukan UU,” ungkapnya.
Adapun soal materi perubahan, bisa saja tidak ada soal dalam konteks penyusunan peraturan perundang-undangan. Meski, dari sisi substansial materi sangat terbuka untuk diperdebatkan dan dimaknai sebagai bagian dari pelemahan KPK di satu sisi di sisi lain ada juga yang menilai sebagai penguatan KPK.
Dalam konteks ini DPR dan Presiden dapat berdalih materi perubahan merupakan bagian dari open legal policy (pilihan kebijakan pembentuk UU).
“Ini situasinya mirip dengan penambahan jumlah pimpinan MPR menjadi 10 orang atau perubahan mekanisme pemilihan Pimpinan DPR pada tahun 2014 lalu. Dengan kata lain, secara materi UU ini sulit dibatalkan di Mahkamah Konstitusi (MK),” ujar Ferdian.
Menurut lulusan S2 FH Universitas Indonesia ini, ada baiknya, pihak-pihak yang keberatan dengan perubahan UU KPK ini dapat masuk melalui pintu pengujian formil yakni menguji atas proses pembentukan UU ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“Satu poin yang dapat dijadikan pintu masuk tak lain adalah berkenaan dengan pelaksanaan tata cara atau prosedur pembentukan UU baik dalam pembahasan maupun dalam pengambilan keputusann atas RUU menjadi UU,” ungkpanya. (win)