JAKARTA – Merayakan Hari Tani Nasional (HTN) 2019, ratusan petani dan mahasiswa melakukan unjuk rasa di depan Istana Merdeka di Taman Pandang Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (24/9/2019).
Berbagai tuntutan disampaikan salah satunya agar Rancangan Undang-undang Mineral dan Batubara (RUU Minerba) tidak disahkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Selain itu, ada pula tuntutan lain diantaranya mengenai pengesahan sejumlah RUU dan revisi Undang-undang yang dinilai anti rakyat seperti UU KPK, pengesahan UU Sumberdaya Air, dan revisi UU Ketenagakerjaan.
Dewi Kartika, selaku Koordinator Umum Hari Tani Nasional 2019, menyampaikan bahwa memperingati HTN 2019 ini para petani bersedih atas anjloknya harga komoditas perkebunan rakyat yakni jatuhnya harga jual karet, lada, kopi, kakao, dan kelapa sawit.
“Pada HTN ini kembali kami menagih janji negara untuk menyelamatkan rakyat. Mengingat pembangunan ekonomi dab pengalokasian sumber-sumber agraria lebih diprioritaskan untuk investasi skala besar, koorporasi dan elit politik,” kata Dewi dalam keterangannya.
Menurutnya janji Jokowi atas Nawa Cita untuk Reformasi Agraria (RA) selama memimpin lima tahun belum terealisasikan. Dari janji 9 juta hektar tanah untuk reforma agraria realisasinya masih jauh dari harapan rakyat. Sementara janji 4,1 juta hektar pelepasan klaim kawasan hutan milik negara untuk reformasi agraria hasilnya adalah nol hektar selebihnya adalah penyertifikatan tanah biasa.
Setidaknya ada tujuh tuntutan petani seluruh Indonesia bersama organisasi kerakyatan kepada Presiden dan DPR RI. Pertama, menolak RUU Pertanahan yang berwatak liberal, yang mengutamakan penguasaan, pemilikan dan pengadaan tanah untuk koorporasi baik di kawasan hutan dan non-kawasan hutan.
Kedua, meminta segera menghentikan praktik-praktik pemindahan paksa, penggusuran, dan perampasan tanah rakyat yang dilakukan oleh pemerintah dan koorporasi baik secara sendiri maupun bersama-sama atas nama pembangunan dan peraturan perundang-undangan. Mendesak Presiden segera menjalankan RA secara nasional dan sistematis, dengan cara membentuk Badan Pelaksana Reforma.
Keempat adalah meminta dihentikan sikap kriminalisasi dan diskriminasi terhadap petani, masyarakat adat, perempuan dan rakyat miskin di pedesaan dan perkotaan yang memperjuangkan haknya atas tanah dan pangan.
Segera melakukan evaluasi dan koreksi kebijakan ekonomi, pangan, impor pangan, pertanian, dan industri yang melemahkan ekonomi kerakyatan. Keenam menuntut segera mencabut ijin konsesi perusahaan penyebab kebakaran hutan dan tahan, terahir menolak pengesahan segala RUU dan revisi UU yang berwatak anti kerakyatan seperti RUU KUHP, RUU SBPB, RUU Minerba, RUU Perkelapasawitan, RUU Perkoperasian dan RUU Ketenagakerjaan. (yendhi/mb)