JAKARTA – Untuk penanganan pengendalian perubahan iklim Indonesia dilakukan dengan pendekatan Ketahanan Nasional.
Hal itu disampaikan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya pada acara Festival Iklim di gedung Manggala Wanabhakti Rabu lalu.
Menurut dia, dalam kurun 5 tahun terakhir ini, terdapat kejadian bencana terkait iklim ekstrim, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di negara-negara lain.
“Kebakaran hutan di Indonesia, merupakan salah satu contoh yang masih menjadi keprihatinan, meksipun kondisinya saat ini sudah sangat jauh menurun dibandingkan dengan dua-tiga minggu lalu,” ujar Siti.
Perkembangan serupa juga terjadi di kawasan hutan Amazon serta area hutan dan lahan di negara lain termasuk di Amerika dan Australia.
Fenomena yang terjadi saat ini erat kaitannya dengan hasil kajian para ilmuwan yang menyebutkan bahwa salah satu dampak perubahan iklim adalah meningkatnya kejadian iklim ekstrim, yakni meningkatnya kejadian ENSO (El Nino Southern Oscillation), baik berupa La Nina maupun El Nino.
Perubahan iklim dapat meningkatkan frekuensi kejadian La Nina dan El Nino, yang normalnya berulang dalam perioda 5 – 7 tahun menjadi lebih pendek frekuesi kejadiannya setiap 3 – 5 tahun. La Nina dapat menimbulkan dampak berupa banjir akibat curah hujan yang tinggi sementara El Nino menimbulkan dampak berupa kekeringan ekstrim akibat rendahnya curah hujan.
Ditegaskannya, kondisi iklim global menunjukkan kondisi atmosfir maupun laut mengalami pemanasan yang menyebabkan keberadaan dan volume salju serta luasan es berkurang drastis, serta mengakibatkan kenaikan muka air laut.
Kenaikan muka air laut sejak pertengahan abad ke-19 jauh lebih besar, dibandingkan dengan laju selama dua milenium sebelumnya Frekuensi dan intensitas kejadian curah hujan yang tinggi akan meningkat secara global.
Kondisi suhu ekstrim, termasuk hari-hari panas dan gelombang panas menjadi lebih umum terjadi sejak 1950.
Trend kekeringan secara global sukar diidentifikasi, namun demikian sejumlah wilayah nampak jelas akan mengalami kekeringan yang lebih parah dan lebih sering. Badai tropis skala 4 dan 5 diperkirakan akan meningkat frekuensinya secara global.
“Hal tersebut memberikan dampak cukup serius pada Sumber Daya Air yakni Perubahan iklim selama abad ke-21 diproyeksikan mengurangi sumber daya terbarukan air dan air permukaan secara signifikan di sebagian besar wilayah subtropis kering,” kata Siti.
Demikian pula pada Ekosistem Darat dan Air Tawar, dimana Peningkatan risiko kepunahan terutama karena perubahan iklim berinteraksi dengan stress lainnya seperti modifikasi habitat, over-eksploitasi, polusi, dan spesies invasif.
Mwnteri Aiŕ
Pada skenario emisi medium-tinggi (RCP 4.5, 6.0, dan 8.5) menimbulkan risiko tinggi dalam skala regional berupa komposisi, struktur, dan fungsi ekosistem darat dan air tawar, termasuk lahan basah.
Menteri Siti Nurbaya menegaskan, kita di Indonesia, juga tidak luput dari kondisi yg bermasalah tersebut. Hasil studi panel ilmiah menunjukkan proyeksi Kenaikan temperatur rata-rata di wilayah Indonesia sebesar 0.5 – 3.92˚C pada Tahun 2100 dari kondisi base line tahun 1981-2010. Temperatur udara minimum akan mengalami peningkatan sebesar 0.04 – 0.07 ˚C. Terjadi variasi pergeseran bulan basah dan kering.
Intensitas curah hujan yang lebih tinggi dan durasi hujan yang lebih pendek akan terjadi di Sumatera bagian utara dan Kalimantan, dan curah hujan rendah dan durasi hujan lebih panjang akan terjadi di bagian selatan Jawa dan Bali.
Diperkirakan tahun 2100 akan terjadi peningkatan peningkatan curah hujan tahunan, kecuali di wilayah Indonesia bagian selatan.
“Kejadian iklim ekstrim yang terus berulang dengan luas wilayah terdampak yang semakin menyebar, mengingatkan untuk terus memperkuat upaya pengendalian perubahan iklim sebagaimana tertuang dalam kesepakatan Paris atau Paris Agreement yang ditetapkan di Tahun 2015,” tegasnya.
Berdasarkan data Sistem Informasi Data Indeks Kerentanan atau SIDIK yang dikembangkan oleh KLHK dengan menggunakan data Potensi Desa Tahun 2014, diindikasikan banyak desa di Indonesia mempunyai tingkat kerentanan sedang sampai sangat tinggi.
“Dengan demikian, menjadi tugas bersama untuk menyiapkan langkah antisipatif melalui peningkatan kapasitas adaptasi seluruh pihak dan menurunkan keterpaparan terhadap dampak perubahan iklim,” kata Menteri Siti.
Menteri juga menjelaskan bahwa minggu lalu para pemimpin dunia berkumpul di New York, Amerika Serikat, dalam acara Climate Action Summit. Pada forum itu diminta untuk menyampaikan program nyata, bukan hanya sebatas komitmen, dalam menghadapi darurat iklim dalam rangka menyongsong batas waktu awal dimulainya implementasi Kesepakatan Paris di tahun depan, yaitu Tahun 2020.
Pendekatan Ketahanan Nasìnaal
Pada kesempatan itu Menyeri LHK Siti Nurbaya juga menyampaikan ucapan
terima kasih kepada seluruh elemen bangsa yang telah terlibat dalam rangka Indonesia menyiapkan diri menghadapi perubahan iklim dengan konsep dasar Penguatan Ketahanan Nasional.
“Ketahanan Nasional dirumuskan sebagai kondisi dinamis bangsa Indonesia dalam seluruh aspek kehidupan yang terintegrasi, yang merupakan perpaduan antara keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan dalam mengembangkan segenap potensi sumber daya yang dimiliki, guna menghadapi dan mengatasi segala bentuk Tantangan, Ancaman, Hambatan, dan Gangguan (TAHG), baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri, serta langsung maupun tidak langsung, yang dapat membahayakan integritas, identitas, eksistensi bangsa dan negara Republik Indonesia,” kayanya.
Berbagai situasi yang dihadapi dan diidentifikasi sebagai dampak perubahan iklim harus dihadapi dengan terus meningkatkan ketahanan nasional pada gatra-gatra yang mencakup kehidupan bangsa yang mencakup tri-gatra geografi, sumber kekayaan alam, dan demografi serta panca-gatra ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan teknologi serta pertahanan keamanan.
“Pada pendekatan inilah dipersiapkan bagaimana selama 4 tahun belakangan ini Indonesia menghadapi perubahan iklim, bukan hanya parsial tetapi menyeluruh dalam sistem ketahanan nasional bangsa Indonesia,” tandasnya. (win)