JAKARTA – Sebagai negeri maritim, Pulau Penyengat dinilai tepat menjadi Ibu Kota Negara. Meski kecil, pulau ini menggambarkan posisi strategis.
Dari segi pertahanan, kapal-kapal perang sangat dominan untuk melindungi dari berbagai serangan.
Ya, itulah Pulau Penyengat yang menjadi Ibu Kota bagi Kerajaan Riau masa silam. Keberadaanya, di hadapan Pulai Bintan, dan 35 km dari Batam, Provinsi Kepulauan Riau.
Pulau kecil ini berhadapan dengan Kota Tanjungpinang, di Bintan, hanya berjarak kurang lebih 2 km dari pusat kota, ditemouh dengan kapal kecil pompong sekitar 15 menit.
Pulau ini berukuran panjang 2.000 meter dan lebar 850 meter. Di Pulau ini banyak sekali peninggalan bersejarah. Dari Pulau ini pula pujangga Raja Ali Haji berkarya.
Dulu, Pulau Penyengat menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Riau. Ketika itu namanya menjadi Pulau Penyengat Inderasakti.
Pada 1803, Pulau Penyengat awalnya dibangun sebagai pusat pertahanan. Pulau ini kemudian dibangun menjadi negeri dan berkedudukan Yang Dipertuan Muda Kerajaan Riau-Lingga.
Ketika itu, Sultan berkediaman resmi di Daik-Lingga. Pada tahun 1900, Sultan Riau-Lingga pindah ke Pulau Penyengat.
Sejak itu lengkaplah peran Pulau Penyengat sebagai pusat pemerintahan, adat istiadat, agama Islam dan kebudayaan Melayu.
Pulau ini memiliki kedudukan penting dalam peristiwa jatuh bangunnya Imperium Melayu. Peran penting tersebut berlangsung selama 120 tahun, sejak berdirinya Kerajaan Riau di tahun 1722, sampai akhirnya diambil alih sepenuhnya oleh Belanda pada 1911.
Awalnya pulau ini hanya sebuah tempat persinggahan armada-armada pelayaran yang melayari perairan Pulau Bintan, Selat Malaka dan sekitarnya.
Namun pada tahun 1719 ketika meletus perang saudara memperebutkan tahta Kesultanan Johor. Perang tersebut antara Raja Kecil, keturunan Sultan Mahmud Syah melawan Tengku Sulaiman, keturunan Sultan Abdul Jalil Riayatsyah.
Pulau Penyengat mulai dijadikan kubu pertahanan oleh Raja Kecil. Ia memindahkan pusat pemerintahannya dari Kota Tinggi (Johor) ke Riau di Hulu Sungai Carang (Pulau Bintan).
Perang saudara itu dimenangkan oleh Tengku Sulaiman dan saudaranya. Mereka dibantu lima orang bangsawan Bugis Luwu, yaitu Daeng Perani, Daeng Marewah, Daeng Chelak, Daeng Kemasi dan Daeng Menambun.
Selanjutnya, Tengku Sulaiman mendirikan kerajaan baru yaitu Kerajaan Johor-Riau-Lingga, pada 4 Oktober 1722. Sedangkan Raja Kecil menyingkir ke Siak dan mendirikan Kesultanan Siak.
Pusat peradaban
Bangunan bersejarah di Pulau Penyengat di antaranya yaitu Masjid Raya Sultan Riau, Mushaf Al-Quran, Istana Kantor dan Balai adat Melayu.
Monumen Bahasa Melayu juga didirikan di pulau ini. Pada tanggal 19 Agustus 2013, diletakkan batu pertama pembangunan Monumen Bahasa Melayu di areal dalam bekas Benteng Kursi, Pulau Penyengat, oleh Gubernur Kepulauan Riau, HM Sani.
Pembangunan monumen ini merupakan wujud penghormatan dan penghargaan Pemerintah Provinsi Kepri terhadap jasa-jasa Raja Ali Haji sebagai pahlawan nasional di bidang bahasa.
Selain itu juga untuk lebih mengenalkan tentang asal dan arti bahasa Melayu yang dipakai di Kepulauan Riau dan Lingga, serta bahasa Indonesia yang digunakan saat ini.
Menariknya lagi, Pulau Penyengat pernah jadi Mas Kawin. Yakni, / mas kawin Sultan Kasultanan Riau III Sultan Mahmud Syah untuk Raja Hamidah yang kemudian dikenal sebagai Engku Puteri Raja Hamidah. Mereka menikah pada tahun 1803.
Engku Puteri Raja Hamidah merupakan putri dari Yang Dipertuan Muda (YDM) Riau IV, Raja Haji Fisabilillah. Setelah menikah dengan Sultan Mahmud Syah dan diberikan Pulau Penyengat, ia kemudian bermukim di pulau tersebut hingga akhir hayat pada 1844.
Hingga saat ini, banyak keturunan Engku Puteri Raja Hamidah yang dimakamkan di tempat tersebut. Engku Puteri Raja Hamidah sendiri dimakamkan di kompleks pemakaman Dalam Besar.
Pada kompleks tersebut, juga dimakamkan Raja Ali Haji yang dikenal sebagai pengarang Gurindam Dua Belas dan ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Di kompleks itu pula dimakamkan Raja Ahmad dan Yang Dipertuan Muda (YDM) Riau IX, Raja Abdullah. (win)