Wednesday, 11 December 2019

Berpikir Jernih

Senin, 14 Oktober 2019 — 7:15 WIB

UU KPK sedang proses penandataanganan  Presiden Jokowi. Sebulan pasca disepakati RUU KPK menjadi UU KPK oleh  DPR,  UU tersebut pada 16 Oktober 2019 secara otomatis berlaku.

Rentang waktu tiga hari berlakunya UU KPK,  pro dan kontra terhadap UU tersebut hingga kini terus bergulir. Satu pihak memprotes direvisinya UU KPK, sementara kelompok lain setuju dengan hasil revisi.

Seiring dengan itu, desakan perlunya Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang-undang (Perppu) terhadap UU KPK yang baru terus bergelombang. Aksi serupa juga digelar pihak lain yang mengingatkan agar presiden tak perlu mengeluarkan Perppu UU KPK.
Pendapat masyarakat tentang perlu/tidaknya dikeluarkan Perppu KPK terbelah. Beragam pendapat baik dari pakar hukum, politisi,  akademisi, dan elemen masyarakat pun bermunculan.

Bagaimana pendapat mereka soal perlu/tidaknya dikelurakan Perppu KPK? Ternyata berbeda.  Maklun hukum memang multi tafsir. Bila sudut pandangnya berbeda biasanya tafsirnya juga akan tidak sama.

Terlepas multi tafir dalam menyikapi perlu/tidaknya Perppu KPK yang jelas ranah itu prerogatif presiden.  Prerogatif dalam konteks ini adalah hak khusus atau istimewa yang diberikan kepada presiden.

Sebelum menggunakan prerogatifnya, Presiden Jokowi berupaya menyerap aspirasi yang berkembang. Mulai dari pakar hukum, kalangan akademisi dan para mahasiswa diminta pendapatnya seputar UU KPK dan perlu/tidaknya Perpu KPK.

Hasilnya tentu sudah  ada di kantong Presiden Jokowi.  Soal apakah perlu tidaknya Perppu UU KPK,  kita serahkan kepada presiden yang memiliki hak prerogatif tersebut.

Presiden bersama tim hukumnya dengan bersandar perundang-undangan yang berlaku dan hierarki peraturan di Indonesia tentu sudah memiliki jawaban seputar  perlu/tidaknya Perppu KPK.

Sambil berpikir jernih, kita tunggu saja sikap Presiden Jokowi sebagai pemegang hak prerogatif. @*