Wednesday, 11 December 2019

Lurah Angga Sastra Wijaya Sempat Menjadi Kasubag Termuda

Senin, 14 Oktober 2019 — 8:08 WIB
lurah

MENJADI seorang pamong dan dipercaya untuk menata wilayah, tak pernah terbesit dibenak pria 35 tahun ini. Pasalnya ketika mendaftar sebagai siswa Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN), ia hanya ikut bersama rekan-rekan sekolahnya. Namun takdir berkata lain, dari 30 teman yang mendaftar, hanya pria inilah yang berhasil lolos di sekolah pemerintahan tersebut.

Angga Sastra Wijaya, yang saat ini menjabat sebagai Lurah Pondok Bambu sejak setahun belakangan ini. Darah sebagai petugas pamong itu pun sama sekali tak ada di dalam tubuh keluarga, dan ia menilai dirinya merubah apa yang ada. “Orangtua saya kerja di kantor pajak, jadi nggak ada dasar di Pemda. Dan tak ada satu pun keluarga saya yang jadi lurah,” katanya, kemarin.

Menurut Angga, perjalanan hidupnya bermula saat ia diajak temen-temen SMA untuk beramai-ramai daftar di STPDN. Karena hal itu, ia pun akhirnya juga ikut mendaftar tanpa berpikir panjang. “Waktu itu cuma daftar saja, belum kebayang nantinya lulus dan bahkan jadi lurah,” ujarnya.

Tanpa persiapan, kata Angga, ia pun pergi dengan diantar tukang ojek langganan keluarganya. Namanya Bang Nares, yang selalu dikenangnya karena dinilai paling berjasa untuk bisa membuatnya seperti sekarang ini. “Hampir setiap hari bolak-balik saya diantar tanpa memberi ongkos. Karena saya bilang ongkosnya nanti sekalian di gabung,” ujarnya.

Angga mengaku, dengan meminjam sepatu milik kakaknya, ia pun datang untuk menjalani tes. Meski sempat minder karena hanya diantar tukang ojek, ia pun tetap meyakini dirinya dalam ujian yang dijalani. “Barang kali cuma saya saja yang nggak siap dan terlihat kucel. Karena waktu itu yang datang untuk tes rapi-rapi,” kenangnya.

ANGKATAN 14
Takdir pun, kata Angga, merubah dirinya yang dinyatakan lulus untuk melanjutkan pendidikan di STPDN. Meski begitu, ia baru sadar ternyata hanya dirinya saja yang lolos, sementara teman sekolahnya tak satupun yang masuk. “Saya masuk STPDN angkatan 14. Rekan senasib saya ada enam orang dan semuanya menjadi lurah,” ujarnya.

Usai mengenyam pendidikan, Angga mengaku akhirnya mulai berkarir di tahun 2006 lalu yang ditempatkan di Biro Tata Pemerintahan (Tapem)  selama tiga bulan. Perjalanan karirnya pun berlanjut ketika ia ditugaskan di Kepulauan Seribu hingga tahun 2008 lalu. “Selanjutnya saya dipindah ke Badan Kepegawaian Daerah (BKD), tiga bulan juga disana saya bertugas di kecamatan Matraman,” ujarnya.

Karir pria ini pun mulai meningkat, di mana ia akhirnya dipercaya untuk menjadi kepala seksi Sarana Prasarana (Sarpras) Kelurahan Kayu Manis. Selanjutnya, ia dipindah ke kasubag program dan anggaran kecamatan Matraman. “Saat menjabat Kasubag, saya merupakan yang paling muda se-DKI. Karena saya itu usia saya baru 25 tahun, dan jabatan itu bisanya diisigolongan 3A dan saya hanya gol 3,” ungkapnya.

Prestasinya semakin meningkat, setelah Angga dipercaya untuk menjabat sebagai Sekretaris Kelurahan Palmeriam yang ia emban selama empat tahun. Dan akhirnya ia ditarik untuk menjadi kasubag protokol, yang dijalani selama sembilan bulan. “Setelah itu saya pun akhirnya menjadi lurah Gedong, Cipinang Melayu dan saat ini Lurah Pondok Bambu,” paparnya.

PALING BERKESAN
Selama menjabat, Angga mengaku bertugas di Cipinang Melayu dianggapnya paling berkesan. Dimana saat itu ia harus menangani pengungsi banjir di Cipinang Melayu, yang jumlahnya 1000 jiwa. “Karena bencana itu, saya kerjanya pindah di masjid full 24 jam. Seminggu lebih saya nggak pulang, tidur di mobil dinas, kadang-kadang lagi diajak ngobrol saya ketiduran,” kenangnya.

Dari hal itu, bungsu tujuh bersaudara itu mengaku mendapat pelajaran berharga dalam menjadi lurah. Karena dengan mengayomi warga yang mengungsi, dirinya juga sudah dianggap warga sebagai anak sendiri. “Apalagi saya memang saya sudah berjanji akan melayani warga dengan sebaiknya. Sampai saya pindah tugas, saya masih di undang dalam setiap kegiatan,” pungkasnya.(ifand/ruh)