Wednesday, 11 December 2019

Bersama Tanpa Prasangka

Kamis, 24 Oktober 2019 — 6:48 WIB

Oleh Harmoko

Masa lalu saya adalah milik saya. Masa lalu kamu adalah milik kamu. Tapi masa depan adalah milik kita

Kata mutiara yang ditulis BJ Habibie ini mengajak kita untuk tidak mengungkit masa lalu seseorang, apa dan bagaimana pun masa lalunya  itu, jika ingin bersama membangun masa depan. Mengapa? Setidaknya ada empat hal yang perlu dijadikan catatan.

Pertama, dengan selalu mengungkit masa lalu akan menghambat jalinan silaturahmi kita.
Kedua, dengan selalu mengungkit masa lalu, apalagi dengan kesalahan – kesalahan yang pernah dilakukan, akan membuat pribadi yang bersangkutan merasa tidak nyaman. Tersiksa batinnya.
Ketiga, dengan selalu mempersoalkan masa lalu akan menjadi ganjalan dalam membangun masa depan.
Keempat, dengan terus mengungkit masa lalu, meski dapat hidup bersama, tetapi sejatinya tak ada kebersamaan. Secara fisik boleh jadi bersama – sama, tetapi tidak ada kebersamaan.

Sejumlah literatur menyebutkan “kebersamaan” adalah ikatan yang terbentuk karena rasa kekeluargaan /persaudaraan. Lebih dari sekadar bekerja sama atau hubungan profesional biasa karena di dalamnya, lazimnya, lebih mengutamakan kepentingan bersama ketimbang kepentingan pribadi.

Jika sudah masuk ke dalam rumah yang disebut “kebersamaan “ tadi, dengan sendirinya harus rela melepaskan diri dari beragam latar belakangnya. Tidak lagi bicara soal asal – usulnya dari mana, agama apa, suku mana, kelompok politik mana, dulu tim sukses siapa, mendukung siapa. Begitu pun latar belakang  status sosial ekonominya.

Kalau pun pada masa lalu terdapat aspirasi politik yang berbeda, bahkan pernah saling berseberangan, kini wajib dihilangkan. Karena kebersamaan, masa depan menjadi milik bersama, bukan lagi milik golongan atau perorangan. Maka, untuk meraih masa depan sebagaimana dicita- citakan wajib dilakukan bersama – sama dengan penuh kebersamaan.

Menyongsong pemerintahan baru, kebersamaan membangun negeri bukan sebatas retorika, tetapi butuh realita dan karya nyata, bukan mengejar citra. Sedapat mungkin menyamakan pandangan, bukan memperbesar perbedaan. Menyelaraskan konsepsi, bukan adu argumentasi. Menyatukan aspirasi, bukan membuka peluang kontroversi. Berupaya mengedepankan kepentingan publik, bukan memperbanyak hak milik.

Upaya ini dapat dicapai jika ditopang keteladanan dari pejabat yang telah dan akan diangkat ( diberi amanah) untuk bersama rakyat memajukan negeri demi  tercapainya kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan sosial sebagaimana tujuan  negeri ini didirikan.

Keteladanan menjadi penting karena tugas pemimpin adalah membujuk, mengajak dan mengajari serta mendidik masyarakat. Dalam konteks kebersamaan membangun negeri, berarti merangkul semua pihak, tanpa pembedaan. Memperkecil perbedaan menjadi satu kunci tumbuhnya kebersamaan.Sementara kebersamaan ( bersatu padunya ) seluruh kekuatan sangat dibutuhkan di era sekarang guna menghadapi beragam tantangan, dan kian kompleksnya permasalahan yang harus segera dituntaskan.

Melalui kebersamaan, setidaknya hidup lebih ringan, lebih mudah menyelesaikan masalah, menimbulkan kasih sayang dan saling tolong menolong, serta mencegah timbulnya konflik.

Sering dikatakan kebersamaan adalah kunci kekompokan, memperkuat  kesatuan dan persatuan serta menciptakan keharmonisan. Dan, masih banyak lagi manfaat dari kebersamaan.

Hanya saja menciptakan kebersamaan tidak semudah seperti membalik telapak tangan. Kebersamaan mudah diucapkan, tetapi sulit dipraktikkan.

Kebersamaan dapat terwujud jika: Ada komitmen yang jelas, menjunjung tinggi toleransi, menghargai perbedaan, terdapat kepentingan yang sama dan adanya kepercayaan. Tak kalah pentingnya adalah ketulusan dan keikhlasan.

Ketulusan muncul karena adanya kesadaran bahwa kebersamaan adalah lebih baik ketimbang kesendirian. Bersama menuju sejahtera, ketimbang sendiri, lagi menderita.

Ada pepatah mengatakan: Lebih baik jalan bergandengan tangan di tengah lorong kegelapan, dari pada berjalan sendirian di tengah padang ilalang.
Mari bangun kebersamaan. Bersama tanpa prasangka membuat kita bahagia  sejahtera.

Filsuf Persia, Abu Hamid Al – Ghazali mengatakan “ Hiduplah kamu bersama manusia sebagaimana pohon yang berbuah, mereka melemparinya dengan batu, tetapi ia membalasnya dengan buah”. (*).