Thursday, 05 December 2019

Anies Tebangi Pohon Pelindung Mau Meniru Raja Amangkurat I?

Selasa, 12 November 2019 — 7:48 WIB
anies tebang pohon

DENGAN alasan untuk pelebaran trotoar, sejumlah pohon pelindung di Jl. Cikini Raya dan menyusul Kramat Raya akan ditebang Gubernur Anies Baswedan. Warga Cikini sudah mengeluh jadi panas. Ini mengingatkan pada kisah raja Mataram Amangkurat I (1646-1677), yang menebangi 18 pohon beringin di alun-alun kraton, agar bisa bebas bermain layang-layang.

Keberpihakan pada wong cilik, selalu menjadi motto Gubernur setiap membuat kebijakan. Kadang terlalu naïf. Masak atap JPO di Jl. Jendral Sudirman dibongkar dengan alasan agar warga kota bisa bebas melihat pemandangan, sekaligus untuk selfi. Soal para penyeberang bakal kehujanan atau kepanasan, kesampingkan saja.

Kini Gubernur Anies sedang getol membangun trotoar. Dibangun lebih lebar dari sebelumnya, tak peduli harus mengorbankan badan jalan. Alasannya untuk memfasilitasi pejalan kaki dan PKL. Di era Gubernur Anies, makhluk PKL benar-benar dimanjakan, tak peduli kadang harus menabrak UU.

Jl. Cikini Raya dan Kramat Raya juga akan diperlebar trotoarnya. Sejumlah pohon pelindung yang sudah tumbuh puluhan tahun lalu, ditebang paksa. Alasannya akan diremajakan dengan pohon jenis lain, yang tidak merusak konstruksi bangunan di sekitarnya. Penduduk Cikini dan para pengendara motor kini mengeluh, Jl. Cikini kini jadi panas dan gersang.

Cara kerja Gubernur Anies mengingatkan pada raja Amangkurat I, putra Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645). Di zaman Sultan Agung Mataram mencapai keemasannya. Tapi di masa Amangkurat I, rakyat mencapai kecemasannya. Bagaimana tidak cemas, raja memerintah semau-maunya, pinjam istilah sekarang: seenak udelnya.

Seperti yang dimuat Kompasiana bersumber dari karya Jonge dalam Opkomst, Jilid VI hlm.94 disebutkan, raja Amangkurat I perintahkan tebang 18 pohon beringin di alun-alun kraton Plered, agar bebas bermain layang-layang. Ketika istrinya yang bernama Ratu Malang meninggal, dia tunggui mayatnya sampai membusuk, tak boleh ditutup. Dia melupakan tugasnya sebagai raja.

Paling celaka, dia mencurigai Ratu Malang meninggal karena dijahati para selir dan danyangnya. Tanpa ampun lagi, 60 orang terdiri dari para selir dan danyang tersebut disekap dalam sebuah ruangan berminggu-minggu tanpa diberi makan, sampai mereka tewas. (gunarso ts)