SETELAH Orde Baru tumbang, program KB bukan lagi garapan serius. Tahun 1997 penduduk Indonesia baru 200 juta, sekarang sudah 267 juta. Ketua BKKBN dr Hasto Wardoyo harus mengatasinya. Tapi bagaimana, honor penyuluh KB hanya Rp100.000 sebulan, sementara konsultan RW kumuh di DKI dibayar Rp19 juta sebulan.
Orang Indonesia memang keliwat pinter, suka memperhalus bahasa. Bayangkan, ledakan penduduk diistilahkan “bonus demografi”, akibatnya pemerintah jadi nyaman-nyaman saja mendengarnya. Beda jika istilahnya tetap “ledakan penduduk”, itu bisa bikin tersengat para pemangku kekuasaan.
Zaman Orde Baru, program KB masih bernyali, sehingga pertambahan penduduknya terkendali. Karenanya Rhoma Irama masih bisa riang gembira bernyanyi, “Dua ratus juta penduduk Indonesia, ada Sunda, ada Jawa, Batak dan lain-lainnya.” Breng gedumbreng……
Tapi setelah Orde Baru tumbang, program KB sepertinya nyaris terlupakan. Laju penduduk RI sejak era reformasi pertambahan penduduknya mencapai 4-5 juta pertahun. Bila los rem, dikhawatirkan 90 tahun mendatang penduduk RI bisa mencapai 1 miliar, menyaingi RRT dan India.
Pemerintahan Jokowi bukannya diam saja. Ketua BKKBN yang baru, dr Hasto Wardoyo. Tapi memasuki gedung urusan pembatasan anak, mantan Bupati Kulon Progo (DIY) itu jadi pusing sendiri. Untuk suksesnya program KB dibutuhkan tenaga penyuluh yang banyak. Tapi daya, jumlah penyuluh KB seluruh Indonesia baru 15.000 padahal idealnya 40.000.
Tambah pusing lagi, honor penyuluh KB itu sebulan hanya Rp100.000 sampai Rp150.000. Itupun bukan dari APBN atau APBD, melainkan kebaikan Pak Kades menyisihkannya dari Dana Desa. Ini kan sama saja: mbayar selawe njaluk slamet.
Bagaimana di Jakarta? Apakah juga dari kebaikan Pak Lurah, apakah honor mereka juga berkisar ratusan ribu? Alangkah timpangnya. Gubernur Anies sering bicara tentang ketimpangan. Mestinya ada dana APBD untuk menggaji penyuluh KB yang layak. Jika konsultan rumah kumuh di RW-RW digaji Rp 19 juta sebulan, memberikan honor Rp4,2 juta sebulan sesuai UMP, juga tidak rugi.
Tentunya bukan DKI Jakarta saja. Setiap Pemda memasukkan honor penyuluh KB ke dalam APBD-nya, sehingga mereka mendapat upah yang layak. Jangan mereka setiap hari propaganda Keluarga Berencana, tapi dia sendiri jadi Keluarga Berantakan gara-gara ekonomi tak memadai. (gunarso ts)