Friday, 15 November 2019

Komisi II DPR: Pilkada Wajib Dievaluasi, Jangan untuk Kepentingan Segelintir Orang

Kamis, 14 November 2019 — 21:17 WIB
Diskusi Dialektika Demokrasi dengan tema 'Akankah Pemilihan Kepala Daerah Dikembalikan ke DPRD (timyadi)

Diskusi Dialektika Demokrasi dengan tema 'Akankah Pemilihan Kepala Daerah Dikembalikan ke DPRD (timyadi)

JAKARTA –  Wakil Ketua Komisi II DPR RI Muhamad Arwani Thomafi mengatakan, penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung wajib dievaluasi. Ia menyarankan setidaknya ada beberapa hal yang perlu dievaluasi, seperti di sektor penganggaran, desain tahapan pemilihan, hingga evaluasi makna kedaulatan rakyat.

“Pelaksanaan pilkada langsung sekarang ini memang wajib untuk kita lakukan evaluasi perbaikan-perbaikan. Tapi jangan diartikan kalau wajib evaluasi terus harus ganti, evaluasinya yang wajib,” kata Arwani saat diskusi Dialektika Demokrasi di DPR, Kamis (14/11/2019).

Diskusi yang mengambil  tema ‘Akankah Pemilihan Kepala Daerah Dikembalikan ke DPRD.’  tampil  pula sebagai pembicara Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia Tanjung (Golkar), Ketua Komite I DPD RI Agustin Teras Narang, dan anggota DPRD Wonosobo, Jawa Tengah Suwondo.

Menurutnya, evaluasi itu terkait dengan anggaran, desain tahapan, makna kedaulatan rakyat dan aspek-aspek lainnya. Arwani menilai, pada prinsipnya Pemilu adalah salah satu instrumen untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam rangka untuk mendapatkan pemerintahan yang sah dan juga untuk artikulasi aspirasi dan kepentingan masyarakat.

Arwani menegaskan aspirasi dan kepentingan masyarakat jangan tersumbat oleh kepentingan modal dan kepentingan segelintir orang. “Ketentuan soal demokrasi langsung kah atau demokrasi keterwakilan kah itu saya kira menjadi opsi kita, tergantung prioritas kita mau pilih mana dulu,” ujar politisi dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini.

Teras Narang menyatakan hal yang sama kalau pilkada langsung ini membutuhkan biaya yang sangat besar. Untuk Kalimantan Tengah saja Rp 328 miliar untuk pilgub dan bupati. Padahal, gaji gubernur hanya Rp 8 juta per bulan.

“Kita mesti berpikir obyektif dan jujur, kalau ini diteruskan, maka hanya para pemodal yang akan menjadi kepala daerah,” tambah mantan gubernur Kalteng selama dua periode (2005 – 2015) itu.

Belum lagi banyaknya kepala daerah yang tersangkut kasus hukum akhir-akhir ini harus menjadi perhatian semua. Apalagi tidak berbanding lurus dengan tujuan demokrasi itu sendiri. Yaitu, untuk kesejahteraan rakyat.

Namun, kata mantan politisi PDIP itu, jika ada pihak-pihak yang mengkhawatirkan money politics itu akan dilakukan oleh anggota DPRD, maka semuanya harus sama-sama mengawasi setiap anggota DPRD.

“Kita ingin terpilihnya pemimpin yang terbaik untuk rakyat dan berkomitmen untuk kemajuan dan kesejahteraan daerah. Jadi, mari kita awasi bersama anggota DPRD kalau pilkada oleh DPRD,” katanya. (rizal/win)