SERING terdengar, kita tiap bulan rajin membayar iuran BPJS Kesehatan, tetapi begitu dirujuk ke rumah sakit, tidak tertangani dengan baik. Tak jarang pasien ditolak, tidak mendapatan perawatan yang semestinya karena alasan kamar inap rumah sakit penuh.
Di tengah masih banyaknya komplain dalam pelayanan, iuran kepesertaan BPJS naik 2 kali lipat untuk klas I dan II. Di sisi lain, terdengar kabar BPJS Kesehatan mengalami defisit lebih dari 32 triliun.
Menjadi pertanyaan, apakah defisit terjadi karena banyaknya pasien yang masuk rumah sakit ketimbang jumlah peserta BPJS Kesehatan atau biaya untuk mengkover perawatan pasien tak sebanding dengan besarnya iuran yang masuk. Jika difisit terjadi akibat pembiayaan pasien lebih besar dari jumlah iuran, maka solusinya adalah menaikkan iuran. Solusi lain pemerintah mengasokasikan dana lebih besar lagi untuk subsidi. Bisa juga BPJS membatasi jenis penyakit yag dikover atau hanya mengganti biaya terhadap jenis penyakit tertentu.
Jika kebijakan ini yang dilakukan, boleh jadi, masyarakat semakin enggan membayar iuran atau lebih memilih menggunakan asuransi kesehatan swasta yang lebih menjamin biaya kesehatan.
Jika dikatakan tunggakan iuran ikut menjadi satu penyebab terjadinya defisit, seberapa besar tunggakan tersebut. Apakah sebesar defisit yang terjadi saat ini.
Persoalan lain, adalah sistem kelola BPJS yang perlu diperbaiki dengan menyesuaikan dengan sumber pendanaan, pemasukan, dan pengeluaran.
Dalam BPJS Kesehatan dikenal peserta mandiri (iuran ditanggung oleh peserta), peserta yang dibiayai APBN dan peserta dari kategori Penerima Bantuan (PBI) yang dibiayai APBD.
Data per 31 Oktober 2019, terdapat 96.055.779 peserta BPJS Kesehatan yang dibiayai oleh APBN dan 37.887.281 peserta yang dibiayai oleh APBD.
Artinya, lebih dari 133 juta peserta BPJS Kesehatan atau kurang lebih 60 persen dari total kepesertaan BPJS Kesehatan yang mencapai 222.278.708 dibiayai oleh negara. Selebihnya sekitar yang hampir 89 juta adalah peserta mandiri. Jika peserta mandiri kita rata- ratakan besarnya iuran Rp50,000 per bulan, maka pemasukan per bulan sekitar Rp4 triliun. Setahun terkumpul Rp48 triliun.
Kalau kita asumsikan tunggakan akumulasi sampai satu tahun, berarti defisit tertutupi. Lebih – lebih dengan adanya kenaikan iuran yang naik untuk klas I dan II yang dua kali lipat.
Apa pun yang terjadi dengan BPJS Kesehatan, bagi rakyat adalah pelayanan tidak merugikan. Defisit anggaran tidak menjadi alasan kurangnya pelayanan kepada pemegang kartu BPJS. Warga mendambakan pelayanan yang baik dan berkualitas, apalagi pasien gawat darurat. ( *).