ANGKA balita stunting atau kunting (kerdil) di Indonesia masih tinggi, tahun 2018 tercatat 8,8 juta. Untuk pemenuhan gizi balita, KSP Moeldoko menganjurkan setiap rumah pelihara ayam, sehingga punya telur sendiri. Celakanya di Sidoarjo (Jatim) telur ayam tercemar kadar plastik, gara-gara plastik diburning (bakar) oleh pengusaha tahu.
Setelah Orde Baru berkuasa, ekonomi anak negeri mulai menggeliat, sehingga murah sandang pangan. Anak kampung kini tak lagi tertarik buah-buahan jatuh, atau kue-kue sisa jamuan tamu. Makan telur ayam dan bebek juga bisa satu butir sendiri atau lebih. Padahal di masa Orde Lama, bocah makan telur sebutir harus dibagi 4 atau 8.
Bayi lahir di era Orde Baru, juga langsung melek, karena gizi yang baik. Padahal bayi tempo doeloe harus merem dulu sampai 2 minggu bahkan lebih. Tapi ironisnya, di zaman yang murah sandang dan pangan ini, angka balita kunting masih tinggi. Data tahun 2018 menunjukkan, terdapat 8,8 juta balita yang pertumbuhannya terhambat. Dulu, jamu cap Jago Semarang masih bisa tampung pegawai orang cebol, kalau sekarang?
Untuk mencegah kekurang gizi, sejak dini bayi harus terima asupan gizi yang baik. Di Jakarta Gubernur Ahok dulu selalu kampanye perlunya setiap keluarga makan daging, karena bikin otak jadi encer. Sedangkan KSP Moeldoko memberi resep sederhana, agar setiap rumah memelihara ayam. Dengan demikian bisa memiliki telur ayam sendiri.
Keruan saja politisi PAN Partaonan Daulay langsung mengecamnya, Moeldoko terlalu menggampangkan masalah. Kalau di kampung yang masih banyak lahan, mudahlah orang pelihara ayam atau bebek. Bagaimana di kota yang rakyatnya tak punya halaman? Bagaimana pula bagi mereka yang tinggal di rumah BTN tipe RSSSSS (Rumah Sangat Sempit Selonjor Saja Susah).
Balita kekurangan gizi tak selalu karena kemiskinan harta, tapi juga karena miskinnya pemahaman orangtua tentang kesehatan. Meski uang ada, makan di rumah tak pernah mementingkan menu “empat sehat lima sempurna”. Bahkan saking pelitnya, dia bilang, “Makan enak kan hanya ketika di lidah, setelah ditelan besok jadi tinja juga.”
Dan celaka tigabelas, kampanye Moeldoko tentang perlunya setiap keluarga pelihara ayam, terjadi berita kontra produktif dari Sidoarjo. Telur ayam produksi petani Desa Tropodo tercemar racun dioksin. Limbah berbahaya itu berasal dari sampah plastik impor, yang digunakan para pengrajin tahu.
Untuk menghemat biaya, proses pembuatan tahu itu diburning (dibakar) tak lagi pakai kayu, tapi dengan sampah plastik impor yang murah. Padahal sebagaimana penelitian lembaga pemerhati lingkungan IPEN, racun dioksin itu bisa menyebabkan kerusakan sistem reproduksi dan kekebalan tubuh hingga kanker. Ngeri deh! (gunarso ts)