JAKARTA – Pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung akan dievaluasi. Pemilihan kepala oleh DPRD atau pilkada asimetris pun menjadi opsi sebagai pengganti sistem pilkada langsung. Hal itu diungkapkan Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arwani Thomafi di kantor DPP PPP, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Selasa (19/11/2019).
“Pilkada langsung penting untuk dilakukan evakuasi. Pilkada langsung, ganti sistem pemilihan oleh DPRD atau pilkada asimetris,” ujarnya.
Diketahui dengan siatem pilkada asimetris, negara bakal menerapkan dua sistem pemilihan yang berbeda tergantung daerah. Di daerah yang berdasarkan skornya memiliki tingkat kedewasaan berdemokrasi tinggi, maka pilkada langsung bisa dilaksanakan. Sementara di tempat yang angkanya rendah dan pilkada yang memiliki potensi konflik tinggi dilakukan secara tidak langsung.
Arwani mencontohkan pemilihan di beberapa daerah di Papua sudah mengaplikasikan sistem tersebut. Di Jakarta, imbuhnya, jabatan walikota pun melalui penunjukkan langsung oleh Gubernur
“Asometris sebenarnya sudah berlaku. Di Papua, melalui ada pemilihan melalui noken. Lalu di Jakarta, walikota juga dipilih tak langsung,” tandasnya.
Sebelumnya PPP menilai pilkada langsung meninggalkan berbagai persoalan. Partai berlambang ka’bah ini beranggapan, sistem tersebut justru melahirkan praktik politik uang. Menurutnya calon pemimpin daerah dengan modal besar lebih berpeluang besar memenangi pemilihan.
“Saat ini lihat alih-alih kedaulatan bisa terlaksana justru saat ini masayarakat di dalam lakukan pilihan didominasi kekuatan pemodal. Mereka yang ingin jadi bupati atau gubernur butuh biaya besar. Menurut penelitian KPK kepala daerah harus siapkan uang Rp30 miliar hingga Rp100 M,” tandasnya.
Tak hanya soal ongkos politik yang besar, Arwani juga menyoroti hasil sistem pilkada langsung. Menurutnya banyak kepala daerah produk pilkada langsung justru tersangkut kasus hukum meskipun tak menampik sistem tersebut menghasilkan pemimpin daerah yang dianggap berkualitas seperti Joko Widodo dan Walikota Surabaya, Tri Rismaharini.
“Ternyata setelah sekian puluh tahun pilkada langsung out put yang diharapkan tak sesuai harapan. Buktinya ratusan kepala derah yang tersangkut kasus hukum. Walaupun kita temukan sosok seperti Jokowi, bu Risma, . Tapi para kepala daerah itu yang kita lihat sebagian besar terkendala persoalan hukum,” jelasnya.
Dia juga menyinggung perpecahan di tengah masyarakat akibat pelaksanaan pilkada langsung. Wakil Ketua Komisi II DPR RI ini pun meminta agar publik tidak alergi dengan evaluasi terhadap sistem pilkada langsung.
“Seiring waktu kita harus terbuka melakukan evaluasi. Apa iya kita terus akan jalankan pilkada yang luar biasa, pemimpin padat modal. Semua diukur dengan uang. Masyarakat terkoyak seperti kasus DKI Jakarta, Tuban termasuk kota Waringin. Persoalan ini menjadi penting untuk dilakukan evaluasi,” ujar Arwani. (ikbal/yp)