Oleh Harmoko
KITA sering mendengar istilah relawan, sukarelawan atau dikenal pula dengan sebutan “volunteer”. Predikat itu diberikan kepada mereka yang bekerja secara suka rela tanpa paksaan, tanpa diminta dan tanpa berharap imbalan.
Mereka, datang tanpa diundang karena kehadirannya bukan sebuah kewajiban, tetapi atas kesadaran untuk membantu orang yang memang sedang membutuhkan bantuan.
Lain halnya orang yang menerima upah, gaji, honor atau apa pun bentuk imbalan yang diterima, maka pekerjaan yang dilakukan merupakan kewajiban.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) juga disebutkan sukarelawan adalah orang yang melakukan sesuatu dengan sukarela (tidak karena diwajibkan atau dipaksakan).
Para ahli juga menafsirkan sukarelawan adalah individu yang rela menyumbangkan tenaga atau jasa, kemampuan dan waktunya tanpa mendapatkan upah secara finansial. Tanpa mengharapkan keuntungan materi dari organisasi pelayanan yang menggelar kegiatan. Aktivitas yang dilakukan relawan bersifat sukarela untuk menolong orang lain tanpa adanya harapan akan imbalan eksternal.
Mengacu kepada pengertian tadi dapat dikatakan bahwa relawan (sukarelawan) yaitu individu yang mengambil peran atau melakukan kegiatan tertentu atas motif suka dan rela.
Konsep ini lebih dikenal dengan penyebutan altruisme atau biasa kita sebut sebagai “ikhlas” dan “rela”.
Melakukan kegiatan penuh kesadaran tinggi yang dilandasi dengan kerelaan dan keikhlasan.
Sejarah budaya bangsa menyebutkan bahwa kegiatan yang bersifat suka rela sudah dilakukan oleh masyarakat kita sejak dulu kala. Gotong royong menjadi satu jati diri bangsa Indonesia yang dipraktikkan hingga sekarang.
Tentu saja dalam bentuk yang berbeda akibat pergeseran tata nilai sebagai dampak dari perubahan zaman.
Kita kenal adanya kerja bakti, kegiatan suka rela untuk kepentingan lingkungan. Kegiatan gotong royong berbenah lingkungan, masih sering dilakukan pada kelompok masyarakat lingkungan mana pun.
Hanya saja, pada kelompok masyarakat tertentu, tidak total dilakukan “kerja bakti” karena kondisi dan beragam pertimbangan.
Meski begitu aspek membangun silaturahmi lingkungan, masih tetap dipertahankan, sedangkan ” kerja baktinya” nya kadang menggunakan orang lain yang diberi imbalan. Sebut saja untuk mengeruk dan memperbaiki saluran, menggunakan tenaga kerja yang diberi upah.
Inilah pergeseran nilai akibat kemajuan teknologi, pengaruh globalisasi di bidang informasi dan komunikasi.
Perkembangan zaman tak bisa ditolak, tetapi hendaknya jati diri bangsa yang memiliki adat budaya, nilai – nilai positif sebagai penggerak terciptanya kerukunan, ketenteraman dan kedamaian lingkungan, jangan lantas terabaikan.
Berbagai aktivitas yang semakin memperkuat kerekatan sosial mesti kita pertahankan dengan kemasan era kekinian.
Di era digital seperti sekarang ini, hadirnya sosok sukarelawan makin dibutuhkan.
Dengan menjadi relawan kita akan lebih cepat tanggap untuk mengetahui permasalahan yang ada di lingkungan sekitar dan membuatnya menjadi lebih baik. Dengan sering menjadi relawan melatih diri memiliki “kepekaaan sosial” yang tinggi.
Kepekaan akan menumbuhkan sikap empati dan peduli kepada orang lain dan lingkungan. Sebut saja sikap mau berbagi, berani meminta maaf bila salah, dan bersedia membantu orang yang membutuhkan.
Peka juga untuk tidak melontarkan ucapan dan melakukan perbuatan yang dapat menyakitkan orang lain.
Peka terhadap tanggung jawabnya sebagai individu dan maupun makhluk sosial.
Kepekaan sosial perlu dilatih, diedukasi dan ditanamkan sejak dini. Kepekaan sosial tidak bisa dipaksakan, tidak pula dipaksa datang tiba – tiba, tetapi perlu dibentuk melalui karakter sejak masa kanak – kanak melalui pengenalan diri bagaimana indahnya saling berbagi, menyantuni. Mengedukasi begitu banyak manfaat yang didapat ketika kita masih bisa saling berbagi.
Membuka diri kepada lingkungan sekitar untuk senantiasa bersedia kerja sama, menolong orang yang kesusahan adalah bagian dari upaya membentuk kepekaan sosial.
Memiliki kepekaan sosial yang tinggi tak sekadar membuat kita menjadi lebih baik, tetapi mendorong kita menjadi manusia seutuhnya.
Menjadi manusia yang memiliki rasa empati terhadap orang lain, bukan karena berharap simpati. Mau peduli, bukan karena ingin dipedulikan. Rela kerja ikhlas tanpa berharap balas (imbalan). Membantu lingkungan bukan berharap pengakuan, tetapi lebih karena kesadaran diri. Itulah sejatinya kepekaan sosial. (*).