Oleh Harmoko
HARTA, tahta dan wanita sebenarnya merupakan anugerah, tapi jika kita tergoda memilikinya dengan cara yang tidak sewajarnya, bukannya membawa berkah, tapi sebaliknya akan menimbulkan masalah.
Ada pitutur luhur yang mengingatkan agar senantiasa kita tidak tergoda dengan tiga “ta” yakni harta, tahta dan wanita.
Tidak sedikit tokoh hebat dunia jatuh dari singgasana karena ” ta” tadi.
Banyak juga tokoh negeri kita tergelincir karena ” harta” dan tak mampu menahan godaan “wanita”.
Sudah ratusan pejabat; ada menteri, gubernur, bupati, walikota, wakil rakyat, yang terjerat korupsi.
Lepas dari segala problema yang menyertai terjadinya korupsi, pesan agar kita hati – hati terhadap tiga “ ta” bukannya tanpa alasan.
Kita tidak bisa mengingkari realita dunia yang begitu mempesona, dapat menyihir mata, telinga, bahkan hati dan jiwa.
Godaan ada di sekeliling kita, mereka datang tanpa diundang seolah ingin menguasai diri kita.
Godaan harta, jabatan, juga rasa cinta, dapat menjatuhkan kita ke dalam jurang kebinasaan. Banyak yang mengejar harta, sampai lupa diri. Lupa atas apa yang dilakukannya itu tidak hanya melanggar etika dan tata krama, bahkan telah menabrak norma (aturan).
Filosofi Jawa mengatakan “Aja Ketungkul Marang Kalungguhan, Kadonyan lan Kemareman” –
Janganlah terobsesi atau terkungkung oleh keinginan untuk memperoleh kedudukan, kebendaan dan kepuasan duniawi.
Mencari harta, tahta dan wanita merupakan kewajiban bagi setiap manusia dalam menjalani kodratnya.
Agama apa pun mengajarkan mencari harta menjadi hak setiap orang. Bahkan, kita diminta untuk berupaya mencari harta, tetapi mengumpulkannya secara sah, legal, bukan dengan melanggar hukum sebagaimana perbuatan korupsi yang acap kita saksikan belakangan ini.
Memiliki mobil mewah tidaklah salah, memiliki rumah megah bak istana raja, bukan pula masalah. Yang menjadi masalah jika memiliki semua itu menjadi tujuan utama dalam hidup yang diraih dengan cara- cara yang tidak wajar. Tidak jujur, tipu sana – sini, mengumbar pungli, menyembunyikan gratifikasi, menebar manipulasi dan korupsi.
Tidak dapat dipungkiri, korupsi sudah ada sejak dulu kala. Dalam masyarakat demokratis seperti yang sekarang kita jalani, korupsi dan penindasan tetap saja merupakan ancaman yang besar.
Sementara kita tahu, korupsi tergolong kejahatan luar biasa yang tidak saja merusak tatanan ekonomi, juga moral bangsa. Korupsi akan membahayakan moral seluruh negeri.
Tak heran jika sering dikatakan korupsi merupakan sumber kehancuran masyarakat. Dulu, saat ini, bahkan juga kelak.
Repotnya lagi pelaku korupsi tidak mengenal jera, sekali lolos korupsi, akan mengulangi. Yang gagal pun akan selalu mencoba lagi.
Beragam tindakan hukum kepada koruptor tertangkap tangan sudah dilakukan, tetapi korupsi bukannya menyusut, tampak semakin akut. Kata anak sekarang, “gak ada matinya.”
Amat benar apa yang dikatakan Charles Caleb Colton, penulis dari Inggris bahwa korupsi seperti bola salju, sekali bergulung akan terus membesar.
Yang menjadi soal bagaimana menghambat laju bola salju tersebut, jika menendang balik bola tidaklah mungkin karena kita tidak tahu pasti kapan bola itu datang.
Salah satu pencegahnya menurut telaah para ahli, adalah menghambat bola salju korupsi itu datang.
Salah satu di antaranya meningkatkan idealisme dan heroisme di kalangan pemuda. Sikap ini diperlukan untuk mengawal pemberantasan korupsi, proses penegakan hukum yang adil dan objektif. Sikap kritis dan idealis yang dimiliki pemuda era kini dapat menjadi pendorong perilaku anti korup dalam segala aspek kehidupan.
Dimulai dari hal yang kecil, disiplin soal waktu, malu datang terlambat masuk kantor, malu tidak mengerjakan sesuatu, malu mengambil hak orang lain, malu juga tidak peduli kepada kelompok/ komunitasnya.
Kepedulian sebagai bagian dari nilai- nilai anti korupsi patut ditumbuhkembangkan. Peduli kepada kebaikan untuk terus meningkatkannya, peduli kepada keburukan dengan sedapat mungkin berupaya menghentikannya.
Nilai- nilai anti korupsi yang perlu ditanamkan sejak dini adalah keberanian mengungkap kebenaran dan ketidakbenaran, apa pun risiko yang bakal dihadapinya. Dan, tak kalah pentingnya adalah kejujuran. Jujur menyajikan data, fakta dan peristiwa sebenarnya. Jujur mengungkap kebenaran, di balik ketidakbenaran. Jujur menggunakan anggaran, meski banyak godaan.
Memang sulit untuk jujur, karena kejujuran kadang membuka aib dan menyakitkan orang lain.
Tapi, sesakit apapun sebuah kejujuran, akan lebih menyakitkan ketika kebohongan terungkap.
Yang pasti kejujuran mendatangkan ketenangan, sementara kebohongan menimbulkan kerisauan karena ada kekhawatiran akan terbongkarnya sebuah dusta.
Marilah kita jangan mudah tergoda pesona dunia yang dapat mengubah fakta menjadi dusta. Dan mendatangkan dusta pasti akan berakhir dengan petaka. (*)