Wednesday, 11 December 2019

Hukum Mati Koruptor Bukan Satu-satunya Solusi

Rabu, 11 Desember 2019 — 8:42 WIB

 
WACANA hukuman mati terhadap terpidana korupsi kembali mencuat, menyusul adanya desakan sementara pihak. Sementara pegiat hak asasi manusia, tidak sependapat hukuman mati diterapkan di bumi Indonesia.

Alasannya, hak hidup merupakan hak dasar manusia yang tidak bisa dicabut. Hak hidup hanya bisa dicabut oleh Tuhan yang memberi kita nyawa.

Pendapat ini tidak dapat disalahkan karena acuannya adalah hak asasi manusia yang paling mendasar.

Usulan perlunya hukuman mati bagi koruptor, juga tidak serta merta dapat disalahkan, karena acuannnya juga jelas, demi kepentingan yang lebih luas lagi, demi bangsa dan negara. Ada hak individu (pribadi), ada juga hak sosial (publik).

Kita tahu, korupsi adalah kejahatan yang luar biasa. Tidak saja merugikan keuangan negara, tetapi dapat menghancurkan moral bangsa, merusak masa depan bangsa.

Jika ini yang menjadi pertimbangan, usulan hukuman mati koruptor dengan maksud memberikan efek jera, sah – sah saja diajukan. Pemerintah pun tidak bisa menampik kenyataan bahwa pemberantasan korupsi masih harus dilakukan lebih masif lagi. Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sepertinya belum menjadikan pelaku korupsi kian surut, tetapi tampak makin akut.

Kita perlu memahami hukuman penjara bukan satu – satunya solusi memberantas korupsi, begitu pun hukuman mati. Meski begitu, kita boleh berasumsi bahwa hukuman mati bisa membuat takut pelaku korupsi, setidaknya mencegah pelaku korupsi. Sejumlah negara, China misalnya, berhasil menekan kasus korupsi, satu di antaranya adakah penerapan hukuman mati. Memang masih banyak faktor lain yang membuat koruspi kian menurun.

Penegakan hukum yang transparan, adil dan objektif menjadi satu kunci pemberantasan korupsi.

Dari sekian banyak upaya pemberantasan korupsi, sanksi sosial cukup efektif memberi efek jera. Membuat malu pelaku korupsi, boleh jadi, akan menimbulkan efek jera.

Sering dikatakan mereka yang berbuat korupsi seolah tidak memiliki rasa malu lagi. Sudah hilang “rasa malunya”. Agar malunya datang lagi, maka perlu dipaksa – dibuat malu di hadapan publik.

Copet atau jambret yang tertangkap di Commuter Line, sering dibuat malu di hadapan publik, dengan memajangnya di stasiun tempat dia mencopet. Kadang dikalungki kertas bertuliskan “saya pencopet”.

Pola serupa bisa saja dilakukan kepada terpidana koruptor dengan menggantungkan kertas di dadanya, misalnya bertuliskan ”Maaf, Saya Telah Tergoda Harta”  atau “Saya Berjanji Tidak akan Korupsi Lagi”.

Tak kalah pentingnya adalah upaya pencegahan yang dilakukan secara masif dengan melibatkan partisipasi seluruh masyarakat. (*).