CAPEK kita menghadapi kejahatan korupsi. Makin ke sini, pemerintah jadi ramah pada koruptor. Sudah 15 tahun KPK berantas korupsi, tikus negara tak kunjung habis, bahkan sekarang diberi SP3. MA demen korting hukuman, dan eks koruptor boleh ikut Pilkada. Sudahlah, koruptor dihukum mati saja. Teriakan Komnas HAM jangan digubris!
Di mana-mana Pemda berlomba dalam program Kota Ramah Anak. Tapi ironisnya, pemerintah pusat malah jadi “pelopor” negara ramah koruptor. Yang masih jadi polemik misalnya, KPK kini diberi wewenang SP3 (penghentian perkara), pencegahan lebih diutamakan ketimbang penindakan, menyadap terduga korupsi harus seizin Dewan Pengawas.
Instrumen penegak hukum sebagaimana MA, belakangan rajin memberi korting hukuman, mirip pertokoan cuci gudang. Artidjo Alkostar kasih hukuman seberat mungkin, tapi sepeninggal dia karena pensiun, terpidana korupsi diperingan. Pantesan, terpidana baru ajukan PK menunggu Artidjo Alkostar pensiun.
KPK berkiprah sejak tahun 2004. Eranya Antasari Azhar dia benar-benar unjuk gigi, tapi kemudian ditelikung dengan fitnah pembunuhan Dirut BUMN. Jika tak diberi grasi Jokowi, mantan Ketua KPK itu kemungkinan masih menikmati hari tuanya di LP Tangerang.
KPK telah banyak penjarakan anggota DPR, bupati, walikota, dan gubernur. Menteri juga banyak yang masuk, bahkan Ketua DPD dan DPR. Tambah celaka lagi, MK yang jadi pintu terakhir pengadilan konstitusi, eh ketuanya bermain pula, akhirnya dikandangi juga.
Di tengah pro kontra Perppu UU KPK, di hari anti korupsi sedunia Jokowi melempar wacana perlunya hukum mati. Ini sebetulnya isyu lama yang selalu direcokin dan dimentahkan oleh Komnas HAM dan penggiat HAM lainnya. Di mata mereka, menghukum mati koruptor takkan menyelesaikan masalah.
Padahal di RRT, ketika para koruptor didor di depan regu tembak, praktisi korupsi menurun drastis. Indonesia masih belum mau melakukan. Jika ada ancaman hukuman mati, baru terhadap penyeleweng bantuan bencana alam. Itupun juga belum ada nomer perdananya.
DPR minta, agar pemerintah menginisasi hukuman mati itu, sehingga nantinya dirembug bersama, lalu masuk Prolegnas dan digolkan. Jika ini berhasil menjadi UU, niscaya para tikus negara akan terkencing-kencing di celana, sebelum menghadapi regu tembak. Yang baru mau korupsi pun niscaya mikir seribu kali.
Biar saja, dan jangan gubris ketika penggiat HAM dan Komnas HAM teriak-teriak bahwa menghukum mati takkan menyelesaikan masalah. Bila logikanya demikian, apa mungkin tersangka korupsi malah diserahkan ke Kantor Pegadaian? Sebab hanya dia yang punya motto: menyelesaikan masalah tanpa bermasalah. (gunarso ts)