SERANG – Kepolisian Daerah Banten melalui Subdit II Hardabangtah Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) berhasil membongkar tiga kasus mafia tanah di Banten dalam kurun waktu 2019.
Tiga kasus tersebut melibatkan delapan tersangka yang sebagian perkembangannya sudah dalam penanganan pihak kejaksaan.
Kasubdit II Harta Benda Bangunan Tanah (Hardabangtah) Ditreskrimum Polda Banten AKBP Asep Sukandarusman mengatakan, lokasi tanah yang menjadi barang bukti berada di Kota Cilegon dan Kabupaten Tangerang.
“Kalau mafia tanah, khusus penanganannya bersama BPN (Badan Petanahan Nasional). Input dengan BPN target 3, sudah diselesaikan,” katanya di kantornya, Sabtu (14/12/2019).
Adapun rinciannya, pertama kasus status tanah Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGU) milik perusahaan berinisial PT LS yang telah habis masa berlakunya pada 2006.
Permasalahannya, kata dia, bahwa PT LS menguasai lahan seluas kurang lebih 500 hektare dari PT S dengan hasil jual beli dengan PT SUR tahun 1990. Tanah yang dialihkan tersebut berasal dari tanah bekas HGU nomor 4 dan 5/Parigi yang sebagian besar berasal dari pelepasan tanah milik perorangan.
Kemudian, terhadap eks HGU nomor 5/Parigi seluas kurang lebih 10 hektare oleh saudara U dan kawannya dibuat surat oper garapan pada tahun . Surat oper garapan tersebut menjadi dasar untuk mengalihkan tanah kepada PT AMS.
Atas perolehan tanahnya, PT AMS mengajukan permohonan pertimbangan teknis kepada Kantor Pertanahan Kabupaten Serang dan ditolak. Sehingga saudara U dilaporkan ke Mapolda Banten pada 2017.
Dalam perkembangannya, pelaporan dicabut pada 2019 berikut lahannya sudah dikembalikan. “Proses tindak lanjut akan dihentikan penyidikannya (SP3),” katanya.
Kedua, kasus status tanah hak adat. Permasalahannya tentang klaim kepemilikan tanah oleh lima orang terhadap satu hamparan dengan cara memalsukan Warkah (sertifikat tanah) dan Akta Jual Beli (AJB) guna permohonan Sertifikat Hak Milik (SHM) 5.411 meter persegi.
Dari hasil laboratorium ditemukan bahwa AJB merupakan hasil digital printing dan tidak terdapat fitur pengaman, semua tanda tangan di AJB hasil digital printing kecuali tanda tangan DHJ.
Setelah terbit SHM atas nama D seluas 5.411 meter persegi, selanjutnya bidang tanah milik lima orang tersebut dijual kepada BDM senilai Rp 3 miliar. Kasus ini diketahui setelah BDM menurunkan alat berat di tanah tersebut untuk dilakukan perataan.
Kemudian DHJ melakukan gugatan perdata dan para pemilik tanah dinyatakan gugatan tidak dapat diterima oleh Pengadilan Negeri Tangerang.
“Selanjutnya melaporkan ke Satgas Anti Mafia Tanah Polda Banten. Perkembangannya berkas perkara sudah P21 (lengkap) dan tahap II vonis dan banding,” ujarnya.
Kasus ketiga yaitu tanah hak pengelolaan (HPL) milik PT KIEC. Permasalahannya, MH mengajukan permohonan lima SHM dengan dasar girik dan beberapa warkah.
Isi surat tersebut tidak benar terhadap HPL milik PT KIEC yang terbit 1982. Setelah SHM terbit, MH mengajukan permohonan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) terhadap tanah tersebut.
Tiga SHM milik MH yang terletak di Desa Wanasari bertentangan dengan keterangan di SHM yang menuliskan lokasinya di Rawa Arum. Klaim yang dilakukan oleh MH mengakibatkan PT LCI mengancam menarik investasi senilai Rp 50 triliun.
Proses perkara terhadap MH telah dinyatakan lengkap dan saat ini sedang ditangani JPU untuk proses penuntutan.
Asep mengatakan, penanganan kasus mafia tanah dilakukan dalam rangka mengamankan program strategis nasional untuk kepentingan negara. Atas kasus mafia yang sudah ditangani masyarakat diimbau berhati-hati.
“Memberikan pengertian kepada masyarakat soal kasus mafia tanah supaya berhati-hati kalau beli tanah. Cek dulu hak tanah jangan sampai masyarakat terjerumus materi. Mafia tanah sangat terstruktur,” tutur Asep Sukandarusman yang juga menjabat Kasubdit Jatanras. (haryono/tri)