JAKARTA – Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) mengingatkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, agar berhati-hati dalam mengambil kebijakan, termasuk mengganti sistem ujian nasional (UN). Ketua PB PGRI masa bakti XII, Didi Suprijadi mengatakan perlu ada kajian sehingga kebijakan tersebut tidak berubah-ubah.
“Jangan coba-coba. Perlu kajian. Kami dari PGRI setuju-setuju saja (hapus UN) tapi harus hati-hati. Dari pengalaman, pada periode lalu geger juga ini masalah UN. Ujung-ujungnya menteri di ganti, menteri baru ribut lagi,” katanya dalam diskusi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (14/13/2019).
Didi menjelaskan, penghapusan UN sejalan dengan hasil survei yang dilakukan PGRI pada 2012 lalu. Komponen sekolah yang terdiri dari guru, kepala sekolah dan pengawas sebagian besar, yakni 70 persen, sepakat UN dihapus.
Namun menurut Didi, ada persoalan yang menjadi dasar pelaksanaan proses pendidikan yang belum disentuh Nadiem, yakni kesejahteraan guru. Dia menjelaskan guru merupakan ujung tombak kebijakan pendidikan, namun jika guru kurang diperhatikan maka kebijakan itu tidak bisa dilaksanakan dengan baik.
“Mohon maaf, Pak Nadiem ini saya akui terobosannya. Tapi dia lupa bahwa yang menjalankan UN, menjalankan kurikulum itu guru, dia tidak tahu siapa guru itu,” katanya. “Ini UN, Ebtanas macam-macam kan sudah enam kali berganti nama, begitu-begitu saja karena lupa ada peran dari UN, pendidikan itu ya guru. Kalau gurunya tidak dibenahi. Guru DKI gaji Rp15 juta. Guru Tangerang nggak sampai segitu. Guru honorer, mohon maaf cuma 300 ribu. Bagaimana guru bisa bicara assesment kalau dianya sendiri masih lapar,” imbuh Didi.
Diketahui, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berencana mengevaluasi pelaksanaan USBN. Mendikbud Nadiem menyebut, mulai 2021 sistem UN diganti menjadi assessment (penilaian) kompetensi minimum dan survei karakter. (ikbal/mb)