“KALAU angkutan kota di Jakarta sekarang sedang bergerak mewujudkan semboyan “satu untuk semua,” kapan warung kopi juga melakukan hal yang sama ya?” kata seorang pelanggan warung kopi Mas Wargo sambil melangkah masuk.
“Maksud Bung ?” tanya orang yang duduk dekat pintu masuk seraya bergeser memberi peluang orang yang baru datang itu masuk.
“Seperti kalian semua tahu, kini dua perusahaan angkutan penumpang massal berbasis rel, yaitu PT Kereta Api Indonesia dan PT MRT Jakarta, masing-masing memiliki kartu multi-perjalanan dan izin menerbitkan uang elektronik dari Bank Indonesia.”
“Lalu apa hubungannya itu semua dengan semboyan “satu untuk semua” dan apa pula hubungannya dengan warung kopi ini?” potong orang yang duduk di ujung kanan bangku panjang, sebelum orang yang baru masuk itu selesai bicara.
“Barangkali saja pemilik warung ini, siapa namanya? Mas Wargo ya?” tanya orang itu. Ketika beberapa orang serempak mengiakan, orang itu berkata lagi, “Nah, kalau Mas Wargo berniat mengumpulkan seluruh pemilik warung kopi Ibukota dan berjuang bersama meminta izin untuk menerbitkan uang elektronik, mungkin bisa. Dengan begitu tidak akan ada lagi orang yang belanja di sini dengan berutang. Semuanya kontan!” kata orang itu dengan tegas, jelas, dan cukup keras pula. Sehingga tanpa ada yang memberikan komando, semua hadirin mengalihkan pandang kepada Dul Karung. Dan Si Dul yang sedang menyeruput teh, tiba-tiba terbatuk-batuk. Mas Wargo yang biasanya tidak pernah melibatkan diri pada obrolan pelanggannya, kali ini memandang ke arah Dul Karung cukup lama. Dan akhirnya tampak dia rikuh sendiri.
“Lalu apa pula hubungannya dengan semboyan “Satu Untuk Semua” yang tadi disinggung itu?” tanya orang yang duduk di ujung kanan bangku panjang.
Tidak langsung menjawab, orang itu memerlukan tersenyum dengan penuh misteri.
“Mudah-mudahan persepsi kita sama mengenai semboyan itu,” kata orang itu kemudian. ”Setahu saya semboyan “Satu Untuk Semua” sekarang mempunyai dua makna.
Pertama artinya ya satu untuk semua. Misalnya ada nasi satu piring, ya dimakan bersama. Kenyang atau tidak kenyang, bukan soal! Pokoknya satu untuk semua. Untuk bersa-ma-sama. Sekarang lain. Semboyan “Satu Untuk Semua” berarti semua, atau masing-masing, dapat satu. Kalau ada satu menteri korupsi, ya semua harus bisa korupsi juga. Kalau ada warga daerah bisa menjadi Kepala Daerah, semua warga daerah pun ingin, dan harus menjadi Kepala Daerah. Dan gilanya, kalau sudah ingin, ya harus bisa. Caranya? Bagaimana pun halal!”
“Assalamu alaykum!” Tiba-tiba Dul Karung memberi salam keras sekali, sambil melangkah ke luar warung.
“Eh, mau kemana, Dul?” tanya salah seorang entah siapa.
“Mau menangkap anak-anak kobra yang bermunculan hampir di seluruh Jakarta. Mungkin mereka pikir kalau Ibukota dipindahkan, metropolitan Jakarta akan menjadi Sunda Kelapa, atau Jayakarta lagi,” jawab Dul Karung dengan suara antara terdengar dan tidak. (**)