Tuesday, 17 December 2019

Menjadi RW Bayar Rp15 Juta Memangnya Itu Lahan Basah?

Selasa, 17 Desember 2019 — 6:43 WIB
rw

DI daerah Kecamatan Jatiasih, Bekasi, ikut pemilihan Ketua RW harus bayar Rp 15 juta. Padahal,  di Jakarta, jangankan bayar berjut-jut, gratis saja kebanyakan ogah. Jadi RW sampai bayar sebegitu banyak, bisa terjebak pada RW transaksional. Di daerah tertentu –yang basah– jabatan RW memang jadi lahan cari uang, bukan lagi pengabdian.

Beberapa hari lalu viral di medsos, di RW 06, Kelurahan Jatiluhur,  Kecamatan Jatiasih, panitia mewajibkan peserta bayar Rp 15 juta untuk biaya penyelenggaraan.

Karena sudah kesepakatan, kontestan mau saja. Mereka memaklumi, sebab pemilihan RW tak ada anggarannya dari Pemkot. Boro-boro membiayai pemilihan RW, honor RW saja hanya Rp 700.000,- sebulan.

Bagi orang Jakarta, aneh rasanya menjadi RW kok harus bayar. Sedangkan,  yang gratis saja, banyak yang ogah jadi RT maupun RW. Mereka mau jadi RT-RW, biasanya karena “ditodong”, lantaran yang punya kans terpilih malah memilih tidak hadir dalam pemilihan.

Menjadi RW sampai membayar berjut-jut, salah-salah menjadikan dia Pak RW yang transaksional. Artinya, lembaga RW dijadikan ajang untuk mencari uang. Ada yang malaki PKL, ada pula manfaatkan HUT RI untuk cari sumbangan ke warga. RW-nya aktif sendiri cari sumbangan, tapi tak semuanya  diserahkan ke bendahara. Alasannya  untuk belanja ini itu, tapi tak ada bukti kwitansi.

Jaman Ahok masih Gubernur DKI Jakarta, dia perintahkan lurah untuk pecat RW yang nakal. Sebab jadi RW itu kerja sosial, tak boleh cari hidup dari lembaga RW. Jika sekedar biaya operasional, Pemprov DKI memang menyediakan, sebulannya sekarang Rp 2,5 juta.

Di tahun 2016 Ketua RW 04 Kelurahan Cengkareng, Jakbar,  dicopot gara-gara membekingi PKL dan bangunan liar.  Sebenarnya RW-RW nakal bisa ditemukan di sana sini, hanya karena warganya pemaaf, “kasus” itu tak mencuat di permukaan.

Misalnya, pernah ada lho di Jakarta Timur, Ketua RW dapat dana CSR dari PLN Peduli untuk bikin gapura (pintu gerbang) sebanyak Rp 70 juta. Tapi gapura itu dibangun sendiri oleh Pak RW tanpa dibentuk panitia. Hasilnya, wujud bangunan sama sekali tak sebanding dengan dana yang dikeluarkan PLN. – gunarso ts