SAYA pernah punya pengalaman tak menyenangkan di kantor kelurahan. Di wilayah kecamatan Cipayung, di Jakarta Timur. Saat itu saya sedang membuat e-KTP.
Saya diambil foto oleh petugas yang menunjukkan sikap tidak ramah, tidak senyum dan kata-katanya bernada memerintah. Membentak. Ketus. Memang wilayah tempat saya tinggal dekat dengan rumah jendral-jendral dan para pensiunan petinggi militer. Lama-lama saya tidak tahan.
“Maaf, bapak tentara ? ” tanya saya kepada yang memerintah saya supaya begini begitu saat pengambilan foto pada saya.
“Bukan, ” jawabnya
“Apa kelurahan ini dalam juridiksi militer? ” tanya saya lagi.
Dia menggeleng. Bingung dengan pertanyaan ‘aneh’ itu.
Saya sendiri bingung apa arti kata-kata saya itu – asal mangap saja.
Yang saya ingat, saat itu saya mulai emosi.
Dan saya langsung tekan gas. “Jangan bergaya tentara di institusi sipil. Rakyat seusia saya trauma dengan militerisme Orde Baru,” kata saya dengan lekat menatap wajahnya. Saya sudah siap ribut.
Untungnya dia diam dan menunduk. Repot juga kalau dia balas emosi dengan tidak memproses e-KTP saya.
Sungguh itu bukan karangan. Yang ingin saya keluhkan adalah masih kurangya “watak melayani” dari para staf kelurahan, honorer atau ASN di ibukota.
Sebagian oknum kelurahan masih bergaya juragan, merasa dibutuhkan. Apalagi menghadapi warga yang kelihatan awam dan penurut. Judes, jutek. Main bentak.
Karena itu, pelatihan bagi ASN dan honorer hendaknya fokus pada pelayanan, sikap sabar dan teliti. Bukan uji mental masuk got berisi air kotor. Menyiksa.
Karena tak ada hubungannya dengan membentuk sikap ramah tamah pada masyarakat. Yang ada, tenaga kontrak takut pada koordinator yang bikin kontrak dan menindas pada warga. Balas dendam.
Sekitar setahun setelah KTP jadi saya kembali ke kelurahan itu. Dompet saya ilang – kecopetan. Saya perlu KTP pengganti. Saya mendapat pelayanan sangat cepat, ramah dan efisien.
Oknum memang hanya sedikit. Tapi sering mewakili citra lembaga. Dan itu yang harus terus diubah. – (dimas).