JAKARTA – Berbicara gaya hidup, Farah Puteri Nahlia termasuk gadis yang tidak mau ribet selayaknya wanita sosialita yang gemar bersolek dan glamor. Wanita 23 tahun ini nyaris tidak peduli dengan merk busana yang akan dikenakan, ia lebih nyaman tampil ‘apa adanya’.
“Saya kurang peduli soal brand. Yang penting pakaian, alas kaki, dan sedikit pernak pernik lain yang saya kenakan sesuai tempat dan acara. Rapih, enak dipandang, dan tentu saja nyaman dipakai,” kata Farah di Jakarta.
Namun, berbeda ketika berbicara makanan, puteri dari seorang Jenderal Polisi tersebut mengaku hobi memasak. Aneka menu makanan bisa ia sajikan. Keahliannya di dapur tidak lepas dari sang ayah yang gemar makan.
Putri dari pasangan H. M. Fadil Imran dan Ina Adiati ini mulai tinggal di Inggris sejak menempuh Program D3 di University Foundation Programme, David Game College. Dari situ dirinya mulai gemar memasak sendiri untuk sekedar mengobati kangen dengan makanan khas Indonesia.
“Makanan favorit saya, bakso. Saat saya tinggal di Inggris, saya membuat bakso sendiri,” kenang wanita kelahiran Semarang, 2 Januari 1996 tersebut.
Farah juga mengaku bisa memasak opor ayam, sop buntut, ayam bumbu rujak, mpek mpek ikan salmon dan aneka olahan ikan seperti sop ikan atau ikan tumis petai kesukaan sang ayah. “Penggemar berat masakan saya, ayah saya sendiri,” kelakar Farah.
Gelar S1 dan S2 ia peroleh di Royal Holloway, University of London jurusan bidang politik dan hubungan internasional. Farah sebut sosok ayah lah yang membuatnya bisa mandiri dan memiliki rasa tanggungjawab.
“Saat hidup di Inggris, saya sudah cukup dibekali pesan ‘hidup bebas yang bertanggungjawab’ oleh kedua orangtua saya, terutama ayah. Itu terus mengiang di telinga saya,” ucap Farah yang hobi membaca dan bermain jetski.
Sebagai anak anggota Polri, Farah dididik ayahnya selalu bersikap disiplin dan memiliki komitmen. Meski wanita dia dilarang cengeng dan harus mandiri. Disatu sisi ia diajarkan makna hidup serta kasih sayang. “Hampir seluruh sistem nilai pribadi, saya serap dari ayah,” kata dia.
Farah sempat berfikir sikap ayahnya terlalu keras. Tetapi ia mulai merasakan manfaat ketika tinggal di Inggris, nilai yang diterapkan padanya membuat ia mandiri, mudah beradaptasi, dan bisa mengatur waktu. Nilai toleran serta berfikir terbuka membuat Farah mudah bergaul dan menghargai perbedaan.
“Satu hal lagi yang diajarkan ayah kepada saya adalah, ‘Ingat selalu jatidirimu, agar kamu tidak asing dengan dirimu sendiri’. Itu saya rasakan saat bergaul dengan komunitas dari berbagai bangsa,” ucap dia.
Enam tahun di luar negeri, Farah memilih kembali ke Indonesia. Ilmu yang dia dapat di negara rantauan akan dia persembahkan untuk Tanah Air tercinta, terlibat dalam pembangunan dan kemajuan Indonesia. Ia memilih terjun ke dunia politik sesuai ilmu pendidikannya.
Dengan membawa bendera Partai Amanat Nasional (PAN), ia mengikuti Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019 untuk kursi DPR RI dengan daerah pemilihan (dapil) IX meliputi Subang, Majalengka, dan Sumedang, Jawa Barat. Farah berhasil lolos setelah mengantongi 113.263 suara.
Bahkan, Farah mencatatkan diri sebagai anggota Parlemen Senayan termuda. Mewakili kalangan milenial, ia kini duduk di Komisi I yang membidangi pertahanan, luar negeri, komunikasi dan informatika, serta intelijen. (yendhi/mb)