Oleh Harmoko
DALAM kerangka pembangunan sosial kemasyarakatan dikenal istilah organisasi sosial, gerakan sosial, kepedulian sosial, lingkungan sosial, adaptasi sosial, pendidikan sosial dan komunikasi sosial.
Semua itu bertujuan untuk menciptakan keadilan sosial dalam segala aspek kehidupan sebagaimana kita cita-citakan bersama.
Itulah sebabnya “konflik sosial” sangat dihindari karena dapat menghambat, bahkan menggagalkan capaian pembangunan.
Kata sosial sendiri berarti sikap peduli kepada lingkungan, suatu perhatian yang diberikan secara suka rela kepada kepentingan umum , sering disebut lingkungan sosialnya.
Tak heran, seseorang yang suka membantu orang lain, gemar menolong dan berderma sering dikatakan sebagai orang yang memiliki sikap sosial tinggi.
Seseorang akan bersikap sosial karena dalam dirinya melekat nilai-nilai yang dianutnya dalam lingkungan sosialnya, lingkup terkecil dalam keluarga.
Nilai dimaksud adalah suatu anutan, aturan atau ketentuan mengenai sesuatu hal yang dianggap baik dan tidak baik oleh masyarakat setempat.
Nilai ini, lazimnya, sudah berdasarkan kajian atas dasar pengalaman yang berulang terjadi dalam suatu masyarakat.
Nilai baik dan buruk sudah merupakan hasil musyawarah masyarakat – sering disebut kesepakatan sosial. Banyak kesepakatan sosial yang sudah menjadi semacam produk hukum masyarakat, di mana para pelanggarnya akan mendapat sanksi sosial.
Dalam kelompok masyarakat tertentu sanksi sosial lebih memberi efek jera kepada warga masyarakat, ketimbang norma hukum yang berlaku universal.
Mereka lebih patuh dan menghargai norma sosial karena ada keterikatan sosial yang sangat tinggi di lingkungan. Ada kesadaran tanggung jawab sosial terhadap lingkungan sekitar, ada rasa malu jika melanggar etika sosial, apalagi norma sosial.
Etika dan norma inilah yang hendaknya kita rawat dan kembangkan menjadi embrio lahirnya kepatuhan sosial, lebih luas lagi kepatuhan nasional.
Kita sering menyaksikan munculnya deklarasi, komitmen kebangsaan misalnya memerangi hoaks, menjaga keutuhan bangsa dan negara. Dan, NKRI harga mati.
Komitmen semacam ini sangat perlu, tetapi yang lebih perlu lagi adalah teraplikasi di dalam ucapan dan perilaku sehari-hari.
Tidak sedikit yang bilang antihoax, tidak jarang juga yang berteriak NKRI harga mati, tetapi ucapan yang dilontarkan dan aksi yang ditunjukkan kadang kurang mencerminkan perilaku antihoax. Kadang tidak memperlihatkan upaya-upaya yang yang menggiring ke arah persatuan dan kesatuan.
Di sinilah masing-masing orang dituntut tanggung jawab sosialnya untuk senantiasa peduli kepada lingkungan sekitar.
Peduli berarti mampu dan mau beradaptasi dengan orang lain, meski bukan dalam satu kelompok sosialnya.
Era kini, ada kecenderungan terbentuk kelompok sosial berdasarkan sifat kedaerahan, atas dasar sekolah, kuliah, profesi dan organisasi sosial yang digeluti.
Kelompok yang, biasanya, dikemas melalui grup media sosial, sejatinya bisa dijadikan embrio untuk memantapkan gerakan sosial peduli pendidikan, peduli fakir miskin, peduli anak yatim, peduli korban bencana, peduli korban kekerasan, peduli korban narkoba dan lain -lain.
Maknanya media sosial yang sekarang, suka atau tidak suka, menjadi alat pemersatu komunitas sosial, dikembangkan kepada hal-hal yang positif. Bukan sebatas sarana menyambung silaturahmi, saling mengucapkan dan juga menyampaikan salam dan selamat pagi, tetapi lebih berarti dalam ikut membangun kepedulian sosial, kepatuhan sosial melalui aksi nyata ikut berperan mengurangi kesenjangan sosial seperti saling berbagi, menyantuni mereka yang sedang membutuhkan bantuan dan aksi sosial lainnya.
Semua itu bisa dilakukan sepanjang adanya kesepakatan sosial yang terbentuk atas kesadaran masing-masing kelompok.
Kalau masing-masing kelompok sosial sudah terbentuk kesepakatan sosial, maka apa pun bentuk perbedaan dapat disatukan dan persoalan yang menyangkut konflik sosial pun pasti dapat dengan segera teratasi.
Kuncinya terletak kepada kesadaran masing-masing individu untuk mematuhi kesepakatan sosial yang sudah ” diundangkan”.
Sebab, dalam kelompok apa pun, di negara mana pun, konflik sosial terjadi karena tidak adanya solidaritas sosial akibat tidak adanya kepatuhan terhadap kesepakatan sosial.
Mari kita bersikap tulus membangun kepedulian, dan ikhlas menjalankan kesepakatan sosial yang telah kita sepakati bersama.
Mari bersikap ” sosial” dalam bermedia sosial, bukan sebaliknya mengedepankan “ego sosial”.
“Jadilah seperti bunga yang memberikan keharumannya, bahkan pada tangan yang menghancurkannya,” seperti dikatakan Ali bin Abi Thalib r.a (*)