Thursday, 05 December 2019

Komisi III DPR: RKUHP Tak Bisa Intervensi Hukum Adat

Rabu, 4 September 2019 — 4:00 WIB
Anggota Komisi III DPR RI Taufiqulhadi. (timyadi)

Anggota Komisi III DPR RI Taufiqulhadi. (timyadi)

JAKARTA –  Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang akan disahkan DPR pada 24 September 2019 tidak mengatur hukum adat. Misalnya jika ada seorang lelaki menculik seorang gadis di daerahnya, lalu dihukum secara adat, maka RKUHP ini tak bisa diterapkan dalam kasus tersebut.

“Intinya RKUHP tidak bisa intervensi terhadap hukum adat yang berlaku di masyarakat. Hal itu, karena RKUHP ini dibentuk dengan mengapresiasi kearifan lokal nusantara,” demikian anggota Komisi III DPR RI Taufiqulhadi.

Hal itu disampaikan Taufiqulhadi dalam diskusi ‘RUU KUHP dan Kebebasan Pers’ bersama pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hajar di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Selasa (3/9/2019).

Lebih lanjut politisi NasDem, itu mengatakan jika RKHUP ini dibentuk berdasarkan nilai-nilai yang berkembang di nusantara atau kearifan lokal, yaitu; filsafat Pancasila, Ketuhan Yang Maha Esa, pluralisme, dan faktor eksternal terkait hak-hak asasi manusia (HAM) secara universal.

“Hanya saja tidak sebebas-bebasnya HAM dan demokrasi di Barat. Sebab, demokrasi itu justru tak akan berjalan tanpa adanya ketertiban masyarakat. Bahwa setiap UU itu harus menciptkan ketertiban, kalau tidak berarti gagal,” ujarnya.

Khusus terkait dengan kebebasan pers, DPR tak mungkin mengekang kebebeasan pers. Demikian pula dengan pasal penghinaan presiden pada pasal 281 KUHP tetap mempertimbangkan faktor-faktor demokrasi dalam konteks Indoensia.

Hanya saja kata Abdul Fickar Hajar, khusus terkait pers sebaiknya diselesaikan melalui UU Pokok Pers. “Kalau tidak, maka RUKHP ini akan menjadi kumpulan hukum pidana secara menyeluruh,” katanya.

Soal COC (Contempt of court- penghinaan pada peradilan) menurut Abdul Fickar, yang dilarang itu penyiaran langsungnya  karena khawatir mempengaruhi saksi-saksi yang lain. Tapi, siaran itu masih bisa dilakukan secara tunda.

Sementara itu, jabatan presiden memang harus dikritisi. Apalagi terkait kebijakan yang dibuat. “Kecuali kalau pribadi – personalnya, itu tak boleh, meski berdasarkan delik aduan. Tapi, mungkin perlu pemberatan hukum karena terkait kepala negara,” pungkasnya. (timyadi/rizal/win)