Thursday, 05 December 2019

Pakar Dr Rudianto Sebut RUU Pertanahan Banyak Potensi Inharmonisasi

Sabtu, 3 Agustus 2019 — 22:40 WIB
Dr Rudianto Amirta, Dekan Fakultas Kehutanan Unimul.

Dr Rudianto Amirta, Dekan Fakultas Kehutanan Unimul.

JAKARTA –  Kalangan akademisi kampus terus menyoroti Rancangan Undang-undang (RUU)  Pertanahan karena banyak hal yang harus dikritisi.

RUU Pertanahan ini menurut pakar Dr Rudianto Amirta, masih banyak hal yang perlu diperjelas, terutama dalam konteks/substansi dan potensi inharmonisasinya dengan banyak kebijakan perundangan lainnya.  Belum lagi potensi “kegaduhan” yang mungkin timbul dari ketidakjelasan tersebut dalam taraf implementasinya nanti.

“Kami menilai saat ini ada kesan terburu-buru karena draft UU pertanahan yang ada terkesan mengabaikan semua hal di atas dan berpotensi menyebakan terjadinya inharmonisasi. Padahal kita tahu UU pertanahan ini akan bersinggungan langsung dengan banyak UU. Jadi sebaikanya ditunda saja pengesahannya,” ujar  Dr Rudianto Amirta, Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman,  Sabtu (3/8/2019).

Rudianto menyatakan Sangat setuju bila RUU Pertanahan ditunda pengesahanya periode DPR saat ini. Sebagaimana yang telah disampaikan dirinya  dan rekan-rekan pimpinan perguruan tinggi kehutanan (FOReTIKA) lainnya, pihaknya tidak setuju dan menyampaikan keberatan jika draft UU Pertanahan ini disahkan dalam waktu dekat.

Bahkan, FOReTIKA menyerukan agar DPR dapat menunda dan memberi waktu yang lebih panjang serta keterlibatan para pihak terkait, termasuk kami dari akademisi guna memberikan pandangan profesional kami akan berbagai hal yang akan diatur di dalam UU ini. Hendaknya kita memulainya dengan baik.

Menurut Rudianto, seharusnya hadirnya UU baru mempertimbangkan faktor harmonisasi dari semua elemen yang ada, sehinga dapat menjamin tidak terjadinya: (1)  pertentangan (konflik); kontradiksi substansi (pertentangan dengan peraturan hukum lainnya); (3) ketumpangtindihan dalam kewenangan/pelaksanaan; (4) inkonsistensi (keteraturan azas); (5) kesenjangan hukum; (6) ketidaklayakan penerapan (incompatible).

Sejumlah aturan atau UU yang dinilai bertabrakan dengan RUU Pertanahan  lanjut Rudianto,  seperti UU Pemda, UU Perseroan, UU BUMN, UU lingkungan hidup, UU Kehutanan, UU yang mengatur kompetensi peradilan di indonesia, UU Pesisir dan juga aturan yang mengatur keberadaan masyarakat hukum adat serta UU terkait pidana.

Selain itu, lanjut Rudianto,  ada juga yang secara substansial kami khawatirkan terkait dengan keberadaan kawasan hutan yaitu yang tertuang pada pasal 154.

“Ada kekhawatiran pasal ini dapat menjadi titik masuk dari ‘prose pembenaran/pemutihan’ atas usaha perkebunan dan lainnya yang masuk ke dalam kawasan hutan, yang pada akhirnya akan berpotensi menjadi penyebab berkurangnya kawasan hutan,” papar Rudianto yang menyelesaikan Ph.D pada program Applied Life Science di Graduate School of Agriculture, Kyoto University, Jepang

Sangat Kaget

Diakui Rudianto, dirinya dan rekan rekan akademisi kehutanan sangat  kaget karena dalam pembahasan, ternyata sangat miskin keterlibatan dari matra kehutanan, termasuk di dalamnya peran Akademisi kehutanan yang seharusnya seharusnya secara substansial juga diminta masukan, kritisasi dan pendapat profesionalnya atas UU tersebut.

Secara substansi pihaknya juga  menilai bahwa draft UU Pertanahan ini belum secara jelas memuat isu-isu penting yang menyangkut peran ekologis dari hutan sebagai “darah dan nyawa” bagi kehidupan.

“Kami khawatir jika hal penting ini terabaikan hanya karena peran dan muatan ekonomi semata yang diprioritaskan, maka hal itu akan sangat mengancam keberadaan hutan yang kita miliki saat ini,” katanya.

Rudianto , sekali lagi mengajak DPR dan Pemerintah untuk membahas kembali, telaah dan kritisi kembali draft ini agar dapat diterima dan memberikan yang terbaik bagi bangsa ini, khusunya kelestarian hutan untuk saat ini dan juga masa mendatang. “Beri ruang lebih luas kepada para pihak yang terkait dan berkompeten untuk terlibat dalam pembahasannya,” tambah Rudianto. (*/win)