LAMPUNG – Cerita indah sempat melekat sebagai satu-satunya daerah gerabah tanah liat di Dusun Jogja, Desa Sidorejo, Kecamatan Sidomulyo, Lampung Selatan (Lamsel).
Sebagai daerah yang banyak dihuni para pengrajin gerabah berasal dari Pulau Jawa tersebut, sempat kesohor dengan sebutan sebagai “Umbul Gentong”.
Nama atau sebutan dari ‘Umbul’ ini, yakni sebuah sebutan (julukan) sebuah kampung yang berada di pelosok daerah. Sementara nama ‘Gentong’, adalah alat gerabah rumah tangga yang terbuat dari tanah liat.
Diketahui, nama sebuah Dusun atau Kampung yang dikenal dengan sebutan “Umbul Gentong” yang saat ini padat dihuni oleh penduduk, disematkan masyarakat Kecamatan Sidomulyo dan Kabupaten Lampung Selatan khususnya.
Di tempat tersebut, merupakan sentra pengrajin gerabah aneka jenis gentong, anglow, penggorengan kopi, cobek serta peralatan rumah tangga lainnya yang terbuat dari tanah liat.
Namun sepertinya, kini hanya tinggal cerita dan kenangan saja bagi Dusun Jogja atau yang dikenal dengan nama “Umbul Gentong” ini. Sayangnya kisah pengrajin gerabah yang sempat kesohor di era tahun 1970-an di Lampung Selatan, sudah mulai memudar tergerus zaman dan nyaris punah.
Selain karena serbuan perkakas atau peralatan dapur rumah tangga bahan plastik dan logam, menjadikan perkakas berbahan tanah liat atau gerabah ini makin terpinggirkan. Selain itu juga, karena kurangnya dukungan dari Pemerintah kabupaten (Pemkab) setempat.
Dari penelusuran media Poskota News, di kampung atau Dusun Jogja yang dikenal dengan sebutan “Umbul Gentong” ini. Dari 30 Kepala Keluarga (KK) yang tadinya menggeluti usaha pengrajin gerabah, kini hanya tersisa dengan hitungan jari saja sekitar 4-5 KK saja yang masih terus aktif mengolah tanah liat menjadi barang yang laik jual di pasaran.
Salah satu pengrajin gerabah yang masih menggeluti tanah liat untuk dijadikan gerabah itu adalah Suradi. Saat berbincang-bincang dengan Poskota News, pria berusia 62 tahun ini menuturkan, sampai saat ini dirinya masih tetap memproduksi kerajinan gerabah.
Meski jumlah dan jenis yang dibuatnya, tidak lagi beragam seperti beberapa tahun-tahun sebelumnya.
“Kerajinan gerabah ini masih saya tekuni, meskipun harus belepotan dengan lumpur (tanah liat) karena memang hanya inilah sumber untuk menghidupi keluarga saya selama puluhan ini,” ujarnya, Selasa (5/8/2019).
Suradi pun mengungkapkan mengenai kegelisahannya, yakni terkikisnya kerajinan gerabah di Dusun Jogja tempatnya tinggal yang sempat kesohor dengan sebutan “Umbul Gentong”.
Bahkan sampai sekarang inipun, sebutan itu masih tetap melekat ditelinga semua masyarakat di Kecamatan Sidomulyo dan di beberapa Kecamatan lainnya di Kabupaten Lampung Selatan.
“Nama dari “Umbul Gentong” ini sendiri, diambil karena di tempat tinggalnya dahulu di Pulau Jawa merupakan sebagai sentra pengrajin gerabah. Tapi sayangnya, pengrajin gerabah di Umbul Gentong sekarang ini, sudah mulai nyaris punah kerna tergerus zaman,” ungkapnya.
Menurutnya, generasi muda di Umbul Gentong saat ini, tidak lagi cenderung menggeluti gerabah. Mereka lebih memilih merantau, yakni bekerja di pabrik-pabrik maupun di perusahan di Pulau jawa.
Tidak hanya itu saja, para orang tua yang dulunya sebagai pengrajin gerabah, sudah tidak produktif lagi karena faktor usia dan banyak juga yang sudah tiada (meninggal). Selain itu juga, karena tidak memiliki modal untuk melanjutkan usaha gerabah tersebut.
“Walah malah mboten enten tiang nom purun ngelanjutke makaryo ndameli gerabah ngoten niki. Sakniki teng kampung Umbul Gentong, mung taseh sekitar sekawan-gangsal KK taseh ndameli gerabah. Lha nek riyen nggeh katah, wonten sekitar tigang dosoan KK. (Walah sudah tidak ada lagi anak muda yang mau melanjutkan usaha membuat gerabah seperti ini. Sekarang ini di Kampung Umbul Gentong, hanya masih sekitar 4-5 KK yang masih membuat gerabah. Kalau dulu ya banyak, ada sekitar 30 KK),”ucapnya dalam dialek bahwa jawa krama.
Hal lainnya, kata Mbah Suradi sapaan akrabnya, karena perkembangan teknologi menjadi tantangan tersendiri bagi pengrajin gerabah. Karena saat ini, masyarakat lebih banyak menggunakan peralatan rumah tangga bukan dari tanah liat seperti dulu melainkan dari bahan plastik, kaca dan alumunium.
“Kalau saya sendiri, sekarang ini hanya membuat gerabah dari tanah liat seperti penggorengan kopi, pot kembang, piringan kecil (layah) dan tungku (anglo). Itupun dibuatnya, kalau ada pesanan saja,”terangnya.
Sementara disisi lain, yakni Boinem (52) yang juga sudah puluhan tahun menekuni usaha membuat perabotan gerabah rumah tangga dari tanah liat hingga saat ini. Meski sudah tidak muda lagi, tangan Boinem masih begitu cekatan, cepat dan terlatih memainkan jemari tangannya membentuk piringan dari tanah liat (penggorengan kopi) diatas alat sederhana yang terbuat dari papan kayu berbentuk bulat yang ada didepannya.
“Keahlian yang saya miliki ini, saya dapat atau belajar dari mertua yang dulunya sebagai perintis pengrajin gerabah di Dusun Jogja yang saat ini disebut dengan nama Umbul Gentong,” ucapnya sembari menunjukkan cara membuat gerabah dari tanah liat di rumahnya.
Boinem mengutarakan, sekitar 20-an silam yakni di era tahun 1970 hingga 1990, setidaknya ada 20 Kepala Keluarga (KK) yang menekuni sebagai pengrajin gerabah. Bahkan perabotan gerabah seperti gentong, kendi, cuak, anglo, celengan dan peralatan perabotan dari tanah liat asal Umbul Gentong, sangat terkenal baik di Kecamatan Sidomulyo dan beberapa daerah Kecamatan lainnya di Kabupaten Lampung Selatan.
Saat ini, kata Boinem, hanya tersisa 4 hingga 5 kepala keluarga yang masih menekuni usaha gerabah dari tanah liat ini. Itupun dilakukan, dari genersi awal dan kedua saja yang masih menekuni dan saat ini nyaris tidak ada lagi generasi penerus dari usaha pengrajin gerabah. Menurutnya, sebagian anak-anak dari pengrajin ini sendiri, justru memilih menekuni bidang pekerjaan lainnya.
“Ya kalau sekarang ini, hanya tinggal 4-5 kepala keluarga saja yang masih membuat perabot gerabah dan tidak ada lagi penerusnya. Apalagi setelah orang tua yang jadi pengrajin gerabah ini meninggal, anaknya tidak lagi melanjutkan peninggalan dari orangtuanya itu,”ungkapnya.
Dikatakannya, pangsa pasar produk-produk gerabah saat ini memang sangat mempengaruhi minat para perajin, terutama dalam rentan waktu 15 tahun belakangan ini.
“Kondisi itulah yang mungkin menimbulkan anggapan generasi muda, kalau usaha kerajinan gerabah kurang menjamin masa depan dari mereka,” bebernya.
Generasi awal para pengrajin gerabah di Umbul Gentong ini, lanjut dia, merupakan transmigrasi asal Pulau Jawa yakni dari daerah Jogyakarta, Jawa Tengah. Begitu juga dengan dirinya dan mertuanya, berasal dari daerah Bantul, Jogjakarta.
“Kalau dulu ya, usaha gerabah ini tumbuh subur dan berkembang. Sekarang ini seiring berjalannya zaman, usaha gerabah di Umbul Gentong terus menurun. Bahkan ketenaran nama Umbul Gentong sebagai satu-satunya sentra pengrajin gerabah, tidak hanya di Kecamatan Sidomulyo tapi juga di Lamsel akhirnya memudar,”terangnya.
Hal senada juga dikatakan oleh pengrajin gerabah lainnya, yakni Taat Budi Riyanto (44). Sembari memoles kerajinan topeng yang dibuatnya dari tanah liat, kepada Poskota News, pria yang akrab disapa Taat ini mengungkapkan, tanpa adanya dukungan dan bantuan dari pemerintah daerah Lampung Selatan, tentunya akan sangat sulit bagi kami khususnya para pengrajin gerabah bisa tetap bertahan dan melestarikan warisan budaya ini apalagi berkembang.
Pemkab Lampung Selatan, kata bapak dua anak yang pernah mengenyam pendidikan di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini, semestinya dapat membantu mengembangkan kerajinan gerabah di Dusun kami (Umbul Gentong) ini, yakni dengan cara mempromosikan produk-produk kerajinan gerabah melalui pameran-pameran pembangunan.
“Kalau ada dukungan, pastinya kita bisa mengembangkan kerajinan gerabah dengan kreativitas yang lebih maju. Yakni dengan memasukkan unsur budaya lokal, dalam setiap hasil kerajinan gerabah. Maka hasil kerajinan yang didapat, memiliki nilai pembeda dan dapat lebih menjual lagi,”ungkapnya.
Taat mengatakan, menekuni usaha kerajinan gerabah ini sudah sekitar 15 tahun dan pastinya dari orangtua. Awalnya memang sekedar hobi, lama-kelamaan digeluti dan akhirnya ingin dikembangkan, diberdayakan dan dikenalkan tentang kerajinan gerabah ini. Selama menekuni kerajinan gerabah, hambatan dan kendalanya banyak. Yang jelas, tujuan utamanya ingin melestarikan kerajinan khas budaya Indonesia.
“Kalau untuk pengembangannya, orang jawa bilang ya diuri-urilah. Harapannya, kerajinan gerabah ini terus dipelihara, dilestarikan dan dikenalkan, jangan sampai dimatikan. Apalagi sekarang ini zamannya milenial, mayoritas larinya yang instan-instan saja,” ujarnya.
Selain membuat aneka macam kerajinan gerabah, ia juga membuat kerajinan Tuping (topeng) 12 karakter khas adat Lampung yang ia buat dari bahan baku tanah liat. Karena topeng ini juga warisan budaya, sehinga laik dan harus terus dilestarikan.
“Saya mencoba buat topeng 12 karakter khas adat lampung ini, sebagai bahan pembelajaran dan edukasi. Menurut saya, topeng ini memiliki nilai historis tersendiri,”jelasnya. (koesma/tri)