JAKARTA – Defisit anggaran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menyebabkan kian banyak rakyat miskin yang tak terlayani akses kesehatannya.
Di satu sisi, anggaran kesehatan yang diterima Kementerian Kesehatan terus naik setiap tahun. Sementara data penerima bantuan iuran (PBI) BPJS Kesehatan belum valid sesuai nomor induk kependudukan (NIK).
Demikian mengemuka saat rapat gabungan antara Komisi XI DPR RI dengan Komisi IX DPR RI yang membahas defisit anggaran BPJS Kesehatan. Rapat dipimpin Wakil Ketua Komisi XI DPR Soepriyatno di ruang rapat Komisi XI DPR, Senin (2/9/2019).
Hadir dalam rapat tersebut Menteri Kesehatan, Wakil Menteri Keuangan, Kepala BPJS Kesehatan, dan Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN).
“Kalau defisit semakin besar dan banyak rumah sakit tidak dibayar, akhirnya banyak rakyat miskin tidak bisa diterima (berobat). Ini sudah jadi persoalan bangsa,” ucap Soepriyatno saat meminpin rapat kerja gabungan tersebut.
Soepriyatno yang merupakan Wakil Ketua Komisi IX iu mengatakan, pihaknya menolak rencana kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan untuk kelas III dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000.
Menurutnya, kenaikan boleh dilakukan apabila pemerintah menyelesaikan pembersihan keanggotaan penerima manfaat atau data cleansing. DPR juga mendesak pemerintah untuk mencari cara lain dalam menanggulangi defisit Dana Jaminan Sosial (DJS) kesehatan.
“Komisi IX DPR RI dan Komisi XI DPR RI menolak rencana Pemerintah untuk menaikkan premi JKN untuk Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) kelas III, sampai Pemerintah menyelesaikan data cleansing,” ujar Soepriyatno di Gedung DPR, Jakarta, Senin (2/9/2019).
Soepriyatno melanjutkan, DPR mendesak Pemerintah untuk segera mengambil kebijakan untuk mengatasi defisit Dana Jaminan Sosial (DJS) kesehatan tahun 2019 yang diproyeksikan mencapai Rp 32,84 Triliun.
Diungkapkannya, kini anggaran kesehatan untuk tahun 2020 dinaikan oleh Kementerian Keungan secara signifikan menjadi Rp 132 triliun.
Rapat gabungan ini banyak mempersoalkan data penduduk terutama kaum miskin yang menjadi peserta PIB. Rapat gabungan menyayangkan tidak menyertakan Dirjen Kependudukan Kemendagri yang memegang data jumlah penduduk.
Pasalnya, banyak kaum miskin belum tercatat sebagai peserta PIB. Bahkan, ada peserta PIB yang tidak sesuai dengan nomor induk kependudukannya (NIK).
“Dulu buat program promotif, prepentif, dan edukatif. Kini, anggaran kesehatan kita semakin lama semakin naik. Tahun 2020 Rp 132 triliun menurut Kemenkeu. Naik terus anggaran kesehatan. Perlu ada satu kesatuan menyelasaikan soal ini,” ujar Soepriyatno lagi. (*/win)