MEREKA menjaga film dalam arti sesungguhnya. Sebagai staf perawat film di Sinematek – satu satunya lembaga arsip film di Indonesia, mereka menjaga gudang yang menyimpan ribuan film di ‘basement’. Lebih dari itu juga mereka menjaga dokumentasi, kenangan dan kebudayaan Tanah Air yang terekam dalam film.
Sebab yang tersimpan di Sinematek Indonesia, bukan hanya film cerita, melainkan juga film dokumenter. Master film berikut copy-nya tersusun rapi dan terawat.
Mereka mengabdi menggantikan para pendahulu yang pensiun. Dan tinggal berdua saja – dari tujuh orang sebelumnya. Banyak pegawai baru masuk, tapi mundur satu per satu. Tidak kuat, tidak tahan. Yang mereka lakukan sekilas mudah, namun butuh ketelitian dan kesabaran tinggi. Cermat.
“Ada yang dua tiga hari atau seminggu, udah habis itu pegawai baru nggak muncul lagi, “ kata Firdaus, staf perawatan film di Sinematek Indonesia, Gedung PPHUI – Pusat Perfilman Usmar Ismail – Kuningan, Jakarta.
“Bahan kimia buat merawat film baunya menyengat. Banyak yang tidak kuat, “ timpal Budi Ismanto, rekannya.
Petugas perawatan film menggunakan cairan Trichloroethylene (TCE) atau aseton yang dituangkan dalam kain putih untuk pembersihnya. Kadang, juga menggunakan cairan ethanol 95 persen. Saat memutar film perlu memakai masker untuk melindungi organ pernapasannya.
Tinggal berdua mereka kini. Sehari hari memutar film di meja editing, baik yang 35 mm maupun 16 mm – untuk memastikan film film seluluid tidak lengket, rusak, berasam, dan lapuk. Jika ada masalah mereka mereparasinya. Dengan kesabaran.
“Kami dapat pelatihan dari para pendahulu, “ kata Firdaus, staf lulusan SMA yang bekerja sejak 1996 ini. “Saya diajak paman ke sini,“ kata ayah satu anak ini.
Era Digital
Dari pengabdian mereka, kita masih bisa menonton film Indonesia sejak zaman Hindia Belanda, buatan tahun 1935, film film era 1950-an, 60-an, hingga kini. “Yang pakai selulouid sampai awal 2.000. Setelah itu masuk era digital. Tapi juga ada yang sutradara film yang tetap bikin pakai seloluid, soalnya gambarnya memang lebih tajam, “ kata pria asli Betawi ini.
Kepada ‘Pos Kota’, kemarin Firdaus memamerkan film tertua yakni “Tie Pat Kai Kawin” buatan tahun 1935, film “Lewat Djam Malam” (buatan 1954) yang sudah direstorasi di Bologna – Italia, dan film film 35 untuk ‘home theatre’ zaman doeloe. Ada juga film era 2.000-an yang masih pita pakai seluloid yaitu ‘The Raid’ (2014). Ada 100 judul film lama yang sudah alih digital.
Selama hampir 20 tahun lebih Firdaus, 48, rutin mengecek kelayakan roll film, memperbaikinya bila ada yang rusak, hingga memastikan bahwa semua kebutuhan penunjang untuk seluloid di dalamnya terpenuhi tanpa kurang dan ia melakukannya di luar kepala.
Udara di dalam ruangan begitu dingin, tepatnya 10 derajat celcius, demi menjaga seluloid agar tak rusak. Dalam satu hari, Firdaus dapat mengerjakan satu sampai dua judul film. Satu judul film memakan waktu proses perawatan selama setengah hari, asalkan kondisi fisik film tersebut masih prima. Tapi, kalau film sudah rusak, waktu yang diperlukan dapat lebih dari satu hari, minggu, bahkan berbulan-bulan.
Meski tugas utama Firdaus merawat fisik film, namun dalam proses pengerjaan dia menonton film juga. “Semua film koleksi di sini sudah saya tonton. Terakhir kemarin nonton ‘Kupu Kupu Putih’, “ katanya. Film yang dibintangi ‘Anna Tairas’, diproduksi tahun 1983.
Bertahun tahun kerja di Sinematek, Firdaus ikut senang bila film yang rusak terselamatkan, dan sedih bila rusak. Bapak satu anak ini menyatakan, baik dulu maupun sekarang, pembuatan film memerlukan modal modal dan proses yang melelahkan, melibatkan banyak orang. Film merekam situasi zaman juga. Ada rekaman zaman yang hilang jika film rusak.
Hal yang sama disampaikan oleh Budi Ismanto. Mulanya dia bekerja di sana sebagai ‘office boy’ karena tinggal di kawasan Kuningan di belakang kompleks perfilman. Di sela tugasnya ayah dua anak asal Solo ini, ikut mengamati kerja staf perawatan, diminta membantu angkat angkat film dan akhirnya ikut terlibat dalam perawatan di meja editing. Budi adalah junior Firdaus, empat tahun lebih muda bekerja di Sinematek.
Pusat arsip film Sinematek Indonesia, yang kini dipimpin Akhlis Suryapati, dirintis sejak 1975 oleh H. Misbach Yusa Biran, sastrawan, penulis, sutradara bekerja sama dengan Asrul Sani, sutradara sekaligus Rektor LPKJ/IKJ dan Gubernur DKI Jakarta, H. Ali Sadikin (dms)