JAKARTA – Anggota Komisi II DPR RI Saan Mustapa menyatakan pilkada langsung merupakan koreksi dan jawaban terhadap pelaksanaan pilkada melalui DPRD yang dipraktikkan selama Orde Baru.
“Kalau kemudian pilkada langsung dikembalikan ke pilkada melalui DPRD, itu namanya setback, langkah mundur,” ujar politisi Nasdem Saan Mustapa dalam diskusi ‘Revisi UU Pilkada, Adakah Ruang kembali ke DPRD?’ di Kompleks Parlemen, Senayan, Selasa (19/11/2019).
Ikut menjadi pembicara dalam kesempatn itu mantan Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah, anggota Komisi II DPR FPPP Achmad Baidowi, dan pengamat politik Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta, Andriadi Achmad.
Menurut Saan, pilkada melalui DPRD telah melahirkan pemerintahan oligarki, yang kemudian pada saat reformasi dikoreksi menjadi pilkada langsung Mengenai adanya anggapan bahwa pilkada langsung mahal, menurut Saan Mustapa belum sepenuhnya benar.
“Evaluasi pilkada memang perlu, tapi bukan mengembalikan ke DPRD. Apalagi pilkada langsung ini makin lama makin berkualitas dalam pelaksanaannya, meningkatkan proses demokrasi dan mampu melahirkan pemimpin daerah yang terbaik,” katanya.
Persoalannya kata Saan, bagaimana mengaveluasinya, maka titik kelemahannya yang perlu diperbaiki. Seperti biaya tinggi, apakah ada jaminan tak akan berbiaya tinggi dengan dipilih DPRD? Atau malah money politics-nya ada di DPRD, karena sudah tahu jumlah dan anggota DPRD yang akan disasar? “Dipilih DPRD tak ada jaminan lebih murah,” kata Saan.
Ia menyontohkan jika misalnya syarat dukungan 20 persen anggota DPRD dari 80 anggota, maka cukup 16 anggota, dan sebanyak 16 anggota inilah kata Saan, yang mesti disasar money politics.
Selain itu, ada serangan fajar atau goodbying, SARA dan sebagainya. Sanksinya harus berat, dan jika terbukti secara hukum harus didiskualifikasi. “Meski dilakukan atas nama timses, relawan dan orang lain yang tak dikenal, maka harus dibatalkan pencalonanya,” katanya. (rizal/win)