Oleh Harmoko
SEJAK dulu hingga sekarang, nama guru tidak pernah berubah. Dulu bernama “guru”, sekarang juga tetap disebut sebagai “guru.”
Yang berubah adalah polanya, sistem pendidikan dan pengajaran yang harus senantiasa mengikuti perkembangan zaman. Bukan saja dalam penyiapan sarana dan prasarana, juga metode dalam memberikan pelajaran.
Haruskah guru selalu berada di dalam kelas, berdiri di depan siswanya, dekat papan tulis? Haruskah guru selalu berdiri di depan kelas untuk menyampaikan materi pelajaran kepada siswanya? Dan, masih banyak pertanyaan yang menjadi renungan kita bersama.
Tujuannya tentu agar sistem pendidikam di negeri kita makin menghasilkan lulusan berkualitas. Lulusan yang cepat terserap pasar kerja baik di tingkat lokal, regional, nasional dan internasional. Namun, jangan salah kaprah. Menghasilkan lulusan yang mampu bersaing dengan negara lain tidak harus meniru sepenuhnya sistem pendidikan dari negara lain.
Lagi pula, belum menjadi jaminan apakah dengan mengadopsi hal yang semuanya sama, secara otomatis hasil yang kita peroleh akan sama seperti yang telah dilakukan negara lain? Tentu saja tidak. Mengapa? Karena karakteristik SDM kita berbeda, baik guru maupun siswanya. Lebih luas lagi, karakter budaya yang menyangkut identitas, sering juga disebut jatidiri bangsa, antara negara yang satu dengan lainnya pasti ada perbedaannya.
Yang penting adalah bagaimana menyeimbangkan antara identitas dengan kemajuan di era kekinian.
Di sinilah dituntut perlunya kemampuan para guru untuk beradaptasi dengan kemajuan teknologi digital. Beradaptasi melalui olah pikir, ucapan dan tindakan, agar tidak ketinggalan zaman.
Guru, siapa pun dia, kapan pun dan di mana pun harus lebih pintar dari muridnya. Tidak saja dalam soal mata pelajaran yang digeluti, juga dalam bidang lain. Itu berarti guru harus selalu mengupdate diri.
Pepatah mengatakan “guru” itu “digugu”( nasihatnya perlu didengar) dan “ditiru” ( perilakunya perlu diikuti).
Guru akan senantiasa menjadi tempat berpijak murid, akan menjadi teladan dalam perbuatan. Untuk itu guru harus memiliki kemampuan lebih. Terus mengupdate diri – belajar dan belajar mengikuti eranya.
Jika tidak, guru akan kalah terhadap tingkat keilmuan muridnya karena sumber belajar saat ini sudah bertebaran di dunia maya. Sehingga apa pun tiap detik bisa diakses.
Maknanya guru tidak boleh kalah dari murid. Guru harus selalu “ready update” di zaman “now”.
Seorang guru bisa disebut sebagai guru “zaman now” jika mampu berperan lebih di era milenial ini. Peran seperti yang diharapkan para ahli, di antaranya sebagai berikut:
Pertama, harus selalu “update ilmu.” Terrutama yang berkaitan dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.
Kedua, menjadi penyeimbang atas perkembangan dunia maya, agar tetap selaras dengan realita yang sebenarnya.
Ketiga, menjadi motivator. Di era digital seperti sekarag ini, guru perlu memberi motivasi kepada siswanya agar lebih berprestasi.
Mampu menggali potensi siswa, dan mengarahkan minat sesuai kemampuan yang dimiliki sehingga penggunaan teknologi digital makin menambah wawasan keilmuan dan pengembangan bakat.
Keempat, menempatkan diri sebagai teman. Seorang guru hendaknya bisa menjadi teman diskusi, teman bertukar pikiran dalam proses pembelajaran.
Mampu pula menghubungkan siswa dengan sumber-sumber pelajaran yang beragam, di dalam maupun di luar kelas. Sekiranya memungkinkan diskusi di luar kelas sehingga lebih tercipta kenyamanan dalam berinteraksi.
Kelima, sebagai filter. Era kini makin mudah mengakses beraneka ragam informasi, tapi di samping itu tidak semua info layak untuk para siswa, perlu adanya filter. Hendaknya seorang guru ikut aktif berperan menyaring informasi negatif yang masuk. Bukan melarang, tetapi mengarahkan.
Keenam, lebih kreatif dan inovatif.
Di era sekarang dituntut adanya sikap kreatif dan inovatif agar tidak tergilas perkembangan zaman. Jika siswa dituntut kreatif dan inovatif, lebih – lebih gurunya.
Sikap tersebut tentu perlu diterapkan dalam memberi pelajaran. Misalnya sesekali mengajak murid diskusi di luar kelas.
Kemajuan teknologi akan berpengaruh kepada cara belajar anak didik yang menjadi lebih efisien karena sumber belajar kian luas dan terjangkau melalui teknologi digital.
Jika cara mengajar masih menggunakan pola lama, tidak mengadaptasi perkembangan teknologi, tentu siswa akan lebih memilih belajar dengan caranya sendiri.
Kita meyakini, secanggih apa pun perkembangan teknologi, kehadiran guru tetap menjadi kebutuhan yang tidak bisa ditolak.
Dengan kata lain, teknologi tidak akan bisa menggantikan guru, tapi guru yang tidak menggunakan teknologi akan “tertinggal kereta.” Ini fakta yang tidak bisa dipungkiri.
Yang pasti, guru wajib hadir dalam dunia pendidikan. Tanpa guru, pendidikan bisa salah arah, tapi guru tanpa sentuhan empati, kreasi dan inovasi, pendidikan boleh jadi hanya berjalan searah.
Selamat Hari Guru. (*)