Oleh Harmoko
“BANGSA yang nasionalismenya hancur adalah sasaran empuk untuk dirusak bangsa lain.” Apa yang dikatakan Presiden Libya, Muammar Khadafi ini mengingatkan kepada kita bahwa nasionalisme sebuah bangsa wajib dirawat dan dijaga.
Nasionalisme yang lemah bisa membuat negara goyah, sebaliknya nasionalisme yang kokoh, membuat negara makin kuat dan selamat.
Nasionalisme terbentuk karena adanya kesamaan budaya, wilayah, cita – cita dan tujuan. Negara kita merdeka karena adanya kesamaan nasib, cita – cita dan tujuan. Adanya gerakan massal yang disebut perjuangan atas kesadaran untuk mendirikan negara yang bebas dari kekuasaan asing. Ada kesadaran tinggi untuk menciptakan kemakmuran, keadilan sosial dan kesejahteraan umum bagi rakyat Indonesia.
Kesadaran inilah yang mengukir nasionalisme tetap melekat pada jiwa bangsa Indonesia hingga kini, hingga kapan pun, selama bangsa Indonesia masih ada.
Nasionalisme bercirikan adanya kecintaan kepada tanah air, bahasa, budaya bersama, budaya bangsa. Nasionalisme merujuk kepada keinginan bersama memajukan bangsa, kepentingan bangsa di atas kepentingan individu dan kelompok apa pun.
Bubarnya Uni Soviet bisa menjadi rujukan begitu pentingnya menjaga kokohnya nasionalisme. Siapa menduga Uni Soviet yang dijuluki Negeri Tirai Besi, bisa terpecah belah.
Telaah para ahli menyatakan salah satu penyebabnya adalah terjadi peningkatan kekerasan akibat persaingan kepentingan etnis di republik-republik Soviet.
Maknanya nasionalisme sempit yang hanya didasarkan kepada ego sektoral seperti adat dan budaya setempat, etnis, dan bahasa tertentu bisa menjadi pemicu lemahnya nasionalisme. Lebih – lebih jika dibarengi kinerja ekonomi buruk yang ditandai kian meningkatnya kesenjangan sosial, makin merebaknya angka pengangguran serta kian labilnya kondisi politik dan keamanan.
Kita bersyukur, negeri kita yang penuh keberagaman, masih tetap kokoh dan kuat. Ini tak lain karena adanya kesadaran yang tinggi dari seluruh elemen bangsa tentang pentingnya menjaga kesatuan di atas keberagaman.
Meski begitu, tak lantas kita boleh berleha – leha tanpa edukasi dan gerakan yang mengarah kepada generasi masa kini yang lahir di era digital.
Perkembangan teknologi informasi dan komunukasi yang ditandai semakin menihilkan batas-batas negara, tidak bisa kita tolak.
Kencangnya arus globalisasi juga potensial menghadirkan nilai-nilai budaya asing yang dengan mudah diadopsi melalui beragam cara dan sarana informasi seperti televisi, radio, dan beraneka ragam gawai yang semakin canggih.
Jika tanpa filter yang kuat dan kerap bisa menghadirkan perilaku yang semakin jauh dari nilai-nilai budaya nasional berciri ketimuran, budaya bangsa kita.
Jika demikian, edukasi dan pemahaman soal nasionalisme perlu disesuaikan dengan era kekinian. Begitu pun orientasinya tidak hanya ke dalam, penguatan identitas sebagai bangsa, tetapi juga ke luar memproklamirkan jati diri nasional Indonesia, kedaulatan bangsa Indonesia ke segenap penjuru dunia.
Maknanya ke dalam memperkuat jati diri, berani ke luar menghadapi tantangan yang menghadang. Bukan sembunyi menghindari tantangan.
Jika bicara nasionalisme tentunya kita sepakat berkiblat kepada empat konsensus bangsa, yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Ini konsensus negeri yang tidak bisa ditawar – tawar lagi. Oleh sebab itulah muncul slogan ” NKRI adalah harga mati!”
Lantas bagaimana edukasi yang selayaknya diterapkan di era sekarang?
Pada era digital yang serba instan ini, generasi muda kurang menyukai sebuah proses panjang. Ada yang mengatakan kurang menghargai proses, tetapi sangat menghargai sebuah produk.
Menghargai hasil karya, bukan melihat karya siapa. Lebih mengapresiasi apa yang ada! Bukan apa yang diucapkan, tapi apa yang diperbuat. Bukan siapa yang mengucapkan dan siapa yang berbuat. Ini berarti mengacu kepada kreasi dan prestasi.
Karena itu, nasionalisme akan semakin tertanam dalam jiwa, jika negerinya, bangsanya kian berprestasi di mata dunia. Jika Indonesia makin diidolakan dunia. Jika tokoh- tokoh muda Indonesia semakin berkarya, kreatif dan diakui dunia.
Sejalan dengan itu, tokoh idola seperti itulah yang akan bisa lebih berperan, beraksi dan sekaligus mengedukasi nasionalisme generasi era kini, melalui sejumlah kegiatan yang bertujuan membangun nasionalisme. Kebersamaan tanpa melihat latar belakang, asalkan tumbuh sebagai penguat nasionalisme. (*)