JAKARTA – DPRD mendesak Pemprov DKI Jakarta mengevaluasi Revitalisasi Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (TIM) untuk pengembamgan kegiatan seni dan budaya, bukan bisnis.
DPRD menilai konsep saat ini dianggap mengalami disorientasi. Pasalnya, pusat kesenian itu lebih didominasi ke arah pengembangan bisnis Jakpro, sebagai Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang ditunjuk untuk merevitalisasi TIM.
“Hotel tidak mendesak jadi kebutuhan seniman di Jakarta. Mereka lebih membutuhkan lahan yang sesuai zaman untuk mencari inspirasi dalam mengembangkan kreativitas seni mereka,” ujar anggota Komisi B DPRD DKI Jakarta, Gilbert Simanjuntak, di Jakarta, Rabu (27/11).
Menurutnya, pembangunan yang sedang berjalan di TIM lebih dominan ke unsur bisnis daripada unsur budaya. Dia mencontohkan, salah satu gedung yang akan dijadikan hotel menyediakan ruang yang sedikit untuk seniman.
“Dari 15 lantai yang akan dibangun, hanya satu lantai untuk seniman, yaitu lantai dasar. Lantai selanjutnya untuk foodcort (1 lantai), Perpustakaan HB Jassin (5 lantai), dan sebanyak 8 lantai untuk hotel bintang 4 dengan tarif Rp 1 juta per malam,” katanya.
Penerimaan dua penghargaan internasional ini mengaku telah menemui sejumlah seniman di Taman Ismail Marzuki. Hampir sebagian besar seniman, ungkapnya, mengaku keberatan dan tidak mampu menyewa kamar semahal itu. Terlebih, ungkapnya, pengelolaan hotel itu ke depan akan digarap langsung oleh PT Jakpro yang notabene tidak memiliki pengalaman di bidang perhotelan.
“Kebutuhan hotel untuk pengunjung TIM tidak mendesak, karena sedikitnya ada 4 hotel bintang empat yang jaraknya hanya 100 meter dari TIM. Apalagi dalam tahap 2 dari rencana Jakpro yang dipaparkan, akan dibangun satu penginapan lagi dengan 300 kamar di area belakang TIM yang mereka sebut wisma,” ungkapnya.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta, Alberto Ali mengatakan menunjuk PT Jakarta Propertindo (Jakpro) untuk mengelola aset di Pusat Kesehatan Jakarta Taman Ismail Marzuki (PKJ-TIM) usai direvitalisasi. Pelibatan Jakpro diyakini bisa memberikan kontribusi positif untuk mengkomersialkan tempat seniman ini dengan baik.
“Kalau dilihat dari bahan struktur yang kita siapkan, fungsi pemanfaatan TIM dengan bangunan baru itu ada di para seniman itu. Jakpro hanya mengelola asetnya agar terawat dengan baik. Nanti siapa yang tampil dan hadir di sana, tetap melibatkan seniman,” ujar Alberto.
Menurutnya, revitalisasi PKJ TIM itu bertujuan untuk meningkatkan Taman Ismail Marzuki itu lebih berkelas, refresentatif dan bisa digunakan oleh seniman-seniman kelas dunia baik dalam negeri maupun luar negeri. Saat ini, katanya, fasilitas di TIM itu sudah sangat memprihatikan.
“Gedungnya sudah tua, banyak yang bocor, dan ruang penyimpanan karya seninya tidak terstandar. Sehingga sayang dong koleksi-koleksi seni kita yang bagus dan priceless itu tidak terawat dengan baik, untuk itu kita perbaiki sarana dan prasarana,” kata Alberto.
Dia memastikan, program revitalisasi PKJ TIM itu akan tetap memberikan ruang interaksi bagi para seniman. Terlebih, imbuhnya, kondisi eksisting ruang terbuka hijau hanya 11 persen dan akan ditingkatkan menjadi 27 persen dengan revitalisasi itu.
“Itu kan peningkatan positif. Sehingga ruang kreativitas para seniman lebih luas. Kalau masalah tidak dilibatkan, di TIM itu kan ada komunitas. Ada 4 organisasi besar disana. Ada Dewan Kesenian Jakarta, Ada Institut Kesenian Jakarta, Akademi Jakarta dan komunitas pelaku seni lainnya. Mereka semua kami libatkan dalam FGD sebelum kita melakukan revitalisasi ini,” jelasnya.
Menurutnya, Gubernur akan menyiapkan Peraturan Gubernur untuk menunjuk Jakpro sebagai pengelola aset di kawasan TIM itu. Sehingga, kehadiran Jakpro bisa mendatangkan pendapatan dari pusat kesenian itu yang nantinya dikembalikan lagi kepada para seniman.
“Operasional TIM ini paling tinggi untuk biaya listrik. Angkanya saya lupa. Selama ini pakai APBD. Tapi untuk skala internasional, masa kita kasih subsidi juga. Dengan adanya Jakpro, mereka bisa ngitung sendiri harga yang pantas buat mereka. Dari sisi tarif retribusi, TIM ini masih kecil. Contoh untuk biaya pemanfaatan gedung Theater besar, itu hanya Rp30 juta. Bandingkan dengan Balai Sarbini, harganya sudah Rp150 juta. Itu juga orang masih berebut. Apalagi dibandingkan dengan kelas dunia,” ungkapnya. (john/yp)