DISIMPAN jadi penghalang Tata kelola pangan nasional, khususnya penyimpanan beras sedang menjadi sorotan. Ada rencana pemerintah akan membuang sekitar 20.000 ton beras dari gudang Bulog. Mengapa? Karena beras yang merupakan stok Cadangan Beras Pemerintah (CBP) ini mengalami penurunan kualitas akibat tersimpan terlalu lama di gudang. Jika penyimpanan lebih dari empat bulan dalam gudang, harus dibuang atau dimusnahkan. Aturan ini merujuk kepada Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 38 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Cadangan Beras Pemerintah (CBP).
Dalam Permentan ini disebutkan bahwa CBP harus dilakukan disposal (pembuangan) apabila telah melampaui batas waktu simpan paling sedikit empat bulan atau berpotensi dan atau mengalami penurunan mutu.
Menjadi persoalan karena untuk mengeluarkan dan memusnahkan beras sebanyak itu membutuhkan dana cukup besar.
Persoalan lain, bagaimana dengan alokasi dana untuk membeli beras pengganti sebesar 20.000 ton atau 20 juta kilogram. Dana ini pun tidak kalah besarnya.
Jika harga beras pembelian rata – rata sebesar Rp8.000 per kilogram, maka diperlukan dana mencapai Rp160 miliar untuk membeli beras sebanyak 20.000.000 kg.
Mencuat pertanyaan, apakah beras yang dinilai mengalami penurunan mutu karena telah tersimpan di gudang lebih empat bulan, harus dibuang atau dimusnahkan? Adakah kemungkinan menimbulkan penyakit bila dikonsumsi manusia?
Muncul ide, lebih baik beras dibagikan kepada mereka yang memang benar – benar membutuhkan, jika secara higienis masih bisa dikonsumsi, tentu setelah diolah lagi.
Kalau ada sebuah alat yang bisa mengolah kembali beras “kedaluwarsa” menjadi siap konsumsi, tak ada salahnya usulan ini diapresiasi.
Sebut saja, setelah diolah kembali beras susut menjadi 18.000.000 kg, maka beras sebanyak itu dapat dibagikan kepada 9 juta warga, jika masing – masing dapat jatah 2 kg atau kepada 6 juta orang kalau masing – masing dapat 3 kg.
Ini satu solusi yang sekiranya dapat bermanfaat, jika disimpan menjadi penghalang, kalau dibuang sayang, dengan asumsi layak konsumsi jika diolah kembali.
Tetapi yang lebih utama adalah tata kelola penyimpanan beras di kemudian hari lebih baik lagi sehingga tak ada lagi beras terbuang. Lebih luas lagi dengan memperbaiki kebijakan pangan nasional, mulai dari pembelian dari petani, pengangkutan, penyimpanan, cadangan stok di gudang, pengeluaran hingga distribusi ke konsumen. Termasuk kebijakan impor pangan (beras), jika stok menjadi berkurang akibat gagal panen atau boleh jadi karena pembusukan.
Ini dibutuhkan koordinasi lintas sektoral, antara Bulog dengan Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan dan instansi terkait. Intinya mengemas kebijakan pangan, khususnya perberasan, tidak menimbulkan kerugian bagi petani. (*).