JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana permohonan uji materi terhadap Undang-undang No 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Senin (9/12/2019). Sidang yang dipimpin majelis hakim, Arief Hidayat, Saldi Isra dan Wahiddudin Adams ini memperdengarkan pokok permohonan yang diajukan Ketua KPK, Agus Rahardjo dkk.
Feri Amsari, kuasa hukum pemohon, menjelaskan permohonan yang diajukan merupakan permohonan uji formil. “Pada intinya permohonan ini merupakan permohonan pengujian formil pembentukan UU No 19 tahun 2019 tentang KPK yang pada intinya mempertanyakan keabsahan prosedural pembentukan perundang-undangan,” katanya.
Terkait legal standing pemohon, Feri meyakinkan majelis bahwa 13 pemohon merupakan orang-orang berkaitan langsung pemberantasan korupsi dan berdampak dengan diberlakukannya undang-undang tersebut.
“Terutama diantara mereka terdapat tiga pimpinan KPK yang kemudian bagian dalam prinsipal permohonan ini. Mereka adalah pihak-pihak yang betul-betul terdampak dari diberlakukannya UU No 19 tahun 2019 yang dibuat secara tidak sesuai dengan ketentuan UU No 12 tahun 2011 tentang pembentukan perundang-undangan sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum,” jelasnya.
Lebih lanjut, Feri mempersoalkan keabsahan sidang paripurna terkait pembentukan UU No 19 Tahun 2019 yang tidak kuorum. Feri menyebut terdapat sekitar 180 yang tidak hadir dalam sidang namun menandatangani absensi kehadiran.
“Dalam catatan kami setidaknya 180-an anggota DPR yang tidak hadir dan menitipkan absennya. Sehingga seolah terpenuhi kuorum waktu itu sebesar 287 hingga 289 anggota dianggap hadir pada waktu itu. Padahal sebagian besar dari mereka menitipkan absen atau secara fisik tidak hadir di persidangan itu,” ungkapnya.
Feri menerangkan sesuai ketentuan tatib DPR bahwa ada kata “dihadiri’, yang juga termasuk dalam UU No 12 tahun 2011, bahwa kata dihadiri artinya harus dihadiri secara fisik. Kalau tidak, imbuhnya, tidak bisa dikatakan ‘dihadiri’.
“Kami merasa tindakan membiarkan anggota DPR menitipkan absen akan merusak prosedural pembentukan perundang-undangan sehingga aspirasi publik yang seharusnya terwakili menjadi terabaikan,” imbuhnya.
Lebih lanjut, kuasa hukum pemohon juga menyoroti tidak dilibatkannya KPK dalam pembahasan undang-undang bersama DPR. Padahal menurut Feri, di dalam putusan MK dikatakan bahwa KPK merupakan bagian dari eksekutif sehingga semestinya begitu surat presiden yang mengirim perwakilan sebagai wakil pemerintah dalam pembahasan UU, harusnya mengirim juga perwakilan KPK. Saat itu Presiden mengirim Menkumham dan Menpan RB.
Dalam petitum permohoman, pemohon meminta agar majelis hakim dapat memutuskan dalam provisi menyatakan menunda ke berlakuan UU No 19 tahun 2019 tentang perubahan kedua atas UU No 30 tahun 2002 tentang KPK.
Sedangkan dalam pokok permohonan mahkamah, pertama dapat mengabulkan permohonan secara keseluruhan. Kedua menyatakan UU No 19 tahun 2019 bertentangan dengan UUD 45 dan tidak memiliki kekuatan hukum menetap.
” Ketiga menyatakan UU No 19 tahun 2019 cacat formil dan cacat prosedural sehingga aturan dimaksud tidak diberlakukan dan batal demi hukum. Keempat memerintahkan amar putusan majelis hakim MK untuk dimuat dalam berita negara,” tutup Feri. (ikbal/yp)