GANTI menteri, ganti pula kebijakan. Itulah yang terjadi di dalam dunia pendidikan di Indonesia. Siswa didik seakan jadi ‘kelinci percobaan’ lantaran seperti menjadi objek uji coba sebuah kebijakan. Program pendidikan pun seakan tanpa arah, menggeling mengikuti aturan yang dikeluarkan pejabat baru. Karena tidak ada grand strategy yang berkesinambungan.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim baru saja memutuskan menghapus Ujian Nasional (UN), ujian yang diberlakukan sejak 2011. UN akan diganti dengan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter mulai 2021. Anak didik dibuat ‘merdeka belajar’, kepala sekolah juga diberikan kemerdekaan menerapkan program pendidikan, tanpa terikat standar nasional.
Kebijakan Nadiem disambut gembira oleh siswa, orangtua guru serta kalangan pemerhati anak. Karena selama bertahun-tahun UN menjadi momok dan membuat peserta didik nervous. Kalangan pendidik juga ‘panas dingin’ lantaran UN jadi pertaruhan kredibilitas sekolah. Hingga guru pun sampai rela didm-diam membantu anak didiknya mengerjakan soal, demi lulus UN.
Sebuah kebijakan, sudah pasti ada dampak positif dan negatifnya. Setiap kebijakan juga menuai pro dan kontra. UN diterapkan sebagai evaluasi standar nasional pendidikan dasar dan menengah agar dicapai persamaan mutu tingkat pendidikan antar daerah. Dampak positifnya, sekolah dipacu meningkatkan mutu pendidikan, supaya peserta didik nantinya siap berkompetisi.
Tetapi dalam perjalanannya, ujian nasional justru menjadi beban karena kualitas pendidikan mulai dari pendidik, siswa, hingga infrastruktur di setiap daerah tidak sama. Terlebih standar kompetensi guru di Indonesia masih belum memenuhi harapan, termasuk syarat kualifikasi akademik. Bahkan dalam laporan Right Education Index diebutkan kualitas pendidikan di Indonesia masih berada di bawah Filipina dan Malaysia. Inilah dilema yang dihadapi dunia pendidikan kita.
Kebijakan menghapus UN, sudah pasti meninggalkan banyak dampak sekaligus menimbulkan persoalan baru. Siswa maupun guru tak lagi ‘dipaksa’ mengejar standar mutu pendidikan nasional. Ini mungkin dianggap sebagai dampak ‘positif’. Peserta didik maupun pendidik menjadi ‘merdeka’.
Tetapi banyak dampak lainnya yang jadi pertanyaan serta mungkin menimbulkan masalah baru. Bagaimana kualitas peserta didik ketika mereka diberi kemerdekaan tanpa ada standar mutu. Persoalan lainnya, persaingan calon siswa memburu sekolah favorit bakal semakin sengit, karena tak lagi menggunakan hasil UN. Celah KKN pun semakin lebar.
Itu sebabnya penghapusan UN harus dikaji dampak positif dan dampak buruknya. Bila tetap dilaksanakan, maka harus dibuat kebijakan lain yang menjamin mutu pendidikan di Indonesia. Bila tidak, alih-alih ingin membuat lompatan menghadapi persaingan global, tapi justru malah membuat kualitas peserta didik malah mundur. Ini tidak boleh terjadi. **