WACANA penghapusan Ujian Nasional (Unas) pernah dilempar Mendibud Muhadjir Effendi pada 2016, tapi karena diprotes sana sini, jadi batal. Kini Mendikbud yang baru, Nadiem Makarim, juga akan menghapusnya tahun 2021 mendatang. Banyak yang gembira, banyak pula yang kecewa. Yakinkah tanpa Unas, generasi kita jadi berkualitas?
Sejak merdeka, mulai tahun 1947 Indonesia memiliki kurikulum sendiri. Hingga sekarang sudah 11 kurikulum diluncurkan, dengan tujuan untuk mencetak generasi muda yang handal, yang siap mengisi kemerdekaan dan membangun Indonesia hingga akhir zaman. Gara-gara gonta-ganti kurikulum melulu, munculah pemeo: ganti menteri ganti kurikulum!
Namun ternyata para menteri luncurkan kurikulum baru sekedar eksperimen, dengan guru dan muridnya sebagai kelinci percobaan. Faktanya, mutu pendidikan kita justru merosot. Bandingkan lulusan tahun 1960-an dengan lulusan tahun 1970-an ke sini. Jangankan ilmu yang muluk-muluk. Sekadar mata angin saja, anak sekarang sudah tidak tahu! Tahunya arah hanya kanan dan kiri.
Guru-guru SD produk (lulusan) 1960-an, menguasai semua mapel. Guru sekarang meski lulusan S1, dapat sertifikasi pula, untuk mapel Seni Suara bisa nggak baca not angka dan not balok? Kalau yang di Yogya, ngertinya ya balok dalam arti singkong goreng, atau blanggreng di Solo.
Demikianlah, demi menciptakan generasi muda yang siap pakai, Mendikbud Nadiem Makarim hendak menghapus Unas di 2021. Wacana yang muncul tahun 2016 tapi jadi mentah lagi, kini benar-benar mau dilaksanakan. Mantan Wapres JK menolak, tapi Presiden Jokowi sangat setuju.
Yang menolak sebagaimana JK, tanpa Unas generasi kita jadi lembek, kehilangan semangat juangnya. Jika tanpa Unas, untuk masuk jenjang perguruan tinggi apa ukurannya. Jika rujukannya ujian sekolah, guru bisa bermain dengan walimurid. Sebaliknya yang pro, Unas itu tak adil. Mapel begitu banyak, tapi yang diujikan hanya beberapa mapel. Dengan demikian kwalitas setiap peserta ujian tak bisa dijamin.
Tapi beberapa hari lalu Mendikbud Nadiem Makarim membantah bahwa Unas dihapus. Itu bisa-bisanya pers memilih judul berita, agar dibaca orang. Yang benar, Unas tetap ada hanya sistemnya yang diganti jadi asesmen (penilaian) kompetensi ditambah survey karakter. Jadi, dua sistem penilaian itu merupakan penyederhanaan Unas. Itu saja. – (gunarso ts)