Thursday, 12 December 2019

Siti Nurbaya: Presiden Jokowi Sangat Menyayangi Masyarakat Hukum Adat

Minggu, 11 Agustus 2019 — 6:15 WIB
Menteri LHK Siti Nurbaya dan tokoh masyarakat adat.

Menteri LHK Siti Nurbaya dan tokoh masyarakat adat.

JAKARTA – Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK)  Siti Nurbaya menjelaskan , seluruh masyarakat adat tidak boleh ada keraguan kepada pemerintah dan khususnya kepada Presiden Jokowi, yang betul-betul menyayangi masyarakat hukum adat di Indonesia ini.

Dasar hukum dan pijakan konstitusional yang kuat sudah ada dan juga telah adanya  pengakuan secara resmi oleh negara pada 30 Desember 2016 setelah Indonesia Merdeka lebih dari 70 tahun, dan  telah dirintis operasionalisasinya.

“Tampak sangat jelas diaktualisasikan oleh Presiden dan pemerintah, seperti secara simbolik pada upacara resmi kenegaraan di Istana Negara dipakai pakaian adat. Begitu pula pada upacara resmi peringatan hari lahirnya Pancasila pada setiap 1 Juni,” ujar Siti Nurbaya, di Jakarta, Sabtu (10/8/2019).

Menteri LHK menyatakan hal itu mewakili Presiden dalam Perayaan 20 tahun Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Peringatan Hari Masyarakat Adat Internasional  9 Agustus bertempat di Taman Ismail Marzuki Jakarta, Sabtu.  Presiden sendiri tengah berada di luar negeri untuk kunjungan kenegaraan.

Siti Nurbaya juga bercerita  tentang kesempatan-kesempatan dirinya  melaporkan kepada Presiden Jokowi  berkenaan dengan masyarakat hukum adat.

“Bapak Presiden selalu bilang, mereka itu, masyarakat hukum  adat adalah kawan-kawan saya, begitu kata Bapak Presiden, Jadi saya menangkap kesan bahwa Bapak Presiden menyayangi masyarakat hukum adat kita.”

Selanjutnya Siti Nurbaya menjelaskan bahwa tentang pengakuan, penghormatan, dan perlindungan masyarakat adat – yang dalam Undang-Undang Dasar 1945 juga disebut sebagai ‘Masyarakat Hukum Adat’ atau ‘Masyarakat Tradisional’.

Ini bukan hanya fenomena khusus Indonesia, tapi  bersifat global dengan disahkannya The U.N. Declaration on the Rights of the Indigenous Peoples  pada 13 September 2007   dalam Sidang Umum PBB.

Menurut Siti, adalah kenyataan bahwa demikian banyak masyarakat hukum adat yang telah ada selama ratusan tahun, kemudian dibangun negara bangsa. Masyarakat hukum adat  adalah entitas antropologis yang tumbuh secara alamiah pada suatu bagian muka bumi tertentu, dan terdiri dari berbagai komunitas primordial yang warganya mempunyai hubungan darah satu sama lainnya.

Kata-kata kunci untuk memahami masyarakat hukum adat adalah kekeluargaan dan  kebersamaan. Sedangkan negara bangsa  adalah entitas-entitas politik baru yang bersifat artifisial, yang dirancang untuk menguasai penduduk suatu daerah yang lebih luas, yang lazimnya mempunyai sumber daya alam yang kaya. Kata-kata kunci untuk memahami negara bangsa adalah kedaulatan dan kekuasaan.

“Oleh karena kedua entitas ini meliputi warga yang sama dan hidup di atas muka bumi yang sama, maka cepat atau lambat, secara tertutup atau terbuka, akan timbul suatu competing claims yang tidak seimbang terhadap manusia, terhadap wilayah, serta terhadap sumber daya alam yang sama,” ujarnya.

Seyogyanya, lanjut dia, posisi masyarakat hukum adat akan jauh lebih baik dalam suatu negara bangsa, karena didasarkan pada faham kebangsaan dan asas kedaulatan rakyat. Warga masyarakat hukum adat yang hidup secara turun temurun pada tanah ulayat di kampung halamannya masing-masing adalah bagian menyeluruh dari rakyat negara yang bersangkutan.

Dalam konteks kesejarahan Indonesia, dengan perancang Undang-Undang Dasar 1945 — Prof Mr Dr R Soepomo – adalah seorang pakar hukum adat, yang benar-benar mengetahui posisi masyarakat hukum adat di Indonesia, maka terlihat tegas mencantumkan pengakuan negara terhadap masyarakat hukum adat dalam rancangan konstitusi.

Original Intent

Lebih jauh dikatakan Menteri Situ, bisa dilihat original intent seperti dalam Penjelasan Pasal 18  UUD 1945 (asli) diberikan contoh-contoh tentang satuan-satuan masyarakat hukum adat seperti desa di Jawa, dan nagari di Minangkabau, yang dinyatakan mempunyai hak asal usul yang harus dihormati negara.

Sikap para pendiri negara tersebut merupakan original intent yang harus dirujuk dalam melakukan tafsiran historis (historische interpretatie) terhadap norma hukum positif yang terkait dengan eksistensi dan hak-hak tradisional masyarakat hukum adat.

“Harus diakui bahwa masih ada kendala konseptual yang cukup menghambat upaya untuk secara sistematik menindak-lanjuti original intent  para Pendiri Negara kedalam kebijakan negara dan peraturan perundang-undangan nasional. Hal ini disebabkan antara lain karena kurang berkembangnya pengetahuan terhadap perkembangan masyarakat hukum adat. Paling tidak hingga tahun 2008 sebagaimana disebutkan oleh Prof Saafrudin Bahar. Dan kita beruntung karena sejak lebih kurang dua tahun lalu sudah ada  Pusat Studi Hukum Adat yang sudah di bangun di UGM Yogyakarta”, papar Siti Nurbaya.

Sementara di sisi lain, masyarakat hukum adat itu sendiri tumbuh dan berkembang dan  mungkin mengalami evolusi dalam perkembangan ciri-cirinya. Perjalanan  dan dinamika pengakuan konstitusional terhadap masyarakat hukum adat  hingga sekitar tahun 1960, tidak banyak dipersoalkan, apalagi digugat.

Satu kemajuan dengan dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada tahun 1993 dengan Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 dan semakin berfungsi  baik  sejak Era Reformasi sangat aktif organisasi mendorong hak-hak masyarakat hukum adat.

Demikian pula diikuti hadirnya Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), melalui Kongres pada tahun 1999 di Jakarta. Komnas HAM sejak tahun 2001 sangat gigih memperjuangkan masyarakat adat, dan pada tahun 2005 dengan seragkaian seminar dan diskusi dan pada 9 Agustus 2006  di TMII Hari Masyarakat Adat Internasional dipimpin oleh Komnas HAM (Prof. Saafurdin Bahar) dan diberikan sambutan oleh Presiden.

Lebih kongkrit lagi di tahun 2015 hingga sekarang dirintis oleh Komnas HAM (antara lain Sandra Moniaga), dan terus melakukan hal-hal yang lebih kongrit bersama-sama dengan AMAN, HUMA, WALHI, BRWA dll dengan hasil-hasilnya hingga sekarang untuk penguatan hak-hak masyarakat hukum adat.

Sistem Tangguh

Sementara  Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi tentang refleksi perjalanan AMAN sejak Kongres  dan berdirinya organisasi AMAN  pada Maret 1999. Perjalanan perjuangan sangat panjang sejak era orde baru, hingga era reformasi dan era menuju Indonesia Maju saat ini.

Sekjen Rukka juga menyatakan permohonan maafnya kepada seluruh unsur Masyakarat Hukum Adat yang hadir karena hingga sekarang dalam kepengurusannya belum dapat membuahkan hasil disahkannya UU tentang Masyarakat Hukum Adat.

Rukka juga menjelaskan bagaimana sistem ekonomi pada skala masing-masing Masyarakat Hukum Adat adalah sistem yang tangguh karena sustainability nya, disamping dengan gross margin yang cukup besar dan dapat mensejahterakan Masyarakat Hukum Adat.  (*/win)