Thursday, 12 December 2019

Jokowi Tolak Empat Poin Revisi UU KPK

Jumat, 13 September 2019 — 12:13 WIB
Presiden Joko Widodo. (reuters)

Presiden Joko Widodo. (reuters)

JAKARTA – Ada empat poin substansi dalam draf revisi UU Normor 30 Tahun 2002, tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) yang diusulkan oleh DPR, ditolak oleh Presiden RI Joko Widodo.

Dalam jumpa pers yang digelar di Istana Negara, Jumat (13/9/2019) tersebut, Jokowi menganggap beberapa hal yang tercantum dalam draf justru dapat mengurangi efektivitas tugas KPK.

“Yang perama, saya tidak setuju jika KPK harus memperoleh ijin dari pihak eksternal untuk melakukan penyadapan,” ujar Jokowi, yang menurutnya jika KPK cukup memperoleh izin internal dari Dewan Pengawas untuk menjaga kerahasiaan.

Kedua, ia tidak setuju penyelidik dan penyidik KPK hanya berasal dari kepolisian dan kejaksaan.  “Yang diangkat dari pegawai KPK maupun instansi pemerintah lainnya. Tentu saja harus melalui prosedur rekrutmen yang benar,” tuturnya.

Kemudian, Jokowi mengatakan tidak setuju jika KPK wajib berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam melakukan penuntutan. Menurutnya, sistem penuntutan yang berjalan saat ini sudah baik sehingga tidak perlu diubah lagi.

Terakhir, Jokowi menyatakan tidak setuju pengalihan pengelolaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dari lembaga antirasuah kepada kementerian atau lembaga lainnya. “Saya minta LHKPN tetap diurus oleh KPK sebagaimana yang telah berjalan selama ini,” ujarnya.

Jokowi mengaku sudah mendengarkan masukan dari sejumlah pihak, baik dari masyarakat, pegiat antikorupsi, akademisi, serta tokoh-tokoh bangsa terkait dengan revisi UU KPK. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu, menyatakan terus mengikuti perkembangan rencana revisi UU KPK ini.

Dewan Pengawas KPK

Namun, ada beberapa hal yang disetujui presiden dengan beberapa catatan. Seperti mengenai wacana pembentukan Dewan Pengawas untuk Komisi Pemberantasan Korupsi. Menurutnya, setiap lembaga memang butuh pengawasan.

“Perihal keberadaan dewan pengawas. Ini memang perlu, karena setiap lembaga negara: Presiden, MA, DPR bekerja dengan prinsip check and balance. Saling mengawasi. Ini dibutuhkan untuk meminimalisir potensi potensi penyalahgunaan kewenangan. Ini saya kan Presiden, Presiden kan diawasi. Diperiksa BPK dan diawasi oleh DPR. Jadi kalau ada dewan pengawas saya kira itu sesuatu yang juga wajar. Dalam proses tata kelola yang baik,” katanya.

Selain itu, Presiden setuju dengan SP3, sebab penegakan hukum harus menjamin prinsip-prinsip penegakan HAM dan kepastian hukum. Presiden juga setuju pegawai KPK adalah ASN, yaitu PNS atau P3K.

Presiden mengatakan, jika korupsi adalah musuh bersama dan ia ingin KPK tetap memegang peran sentral dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. (*/mb)