JAKARTA – Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta DPR yang sudah di akhir masa bakti, agar untuk menunda atau menghentikan pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).
Demikian disampaikan Wakil Ketua Umum MUI Zainut Tauhid Sa’adi di Jakarta, Rabu (18/9). MUI berpendapat bahwa RUU PKS karena dianggap masih menimbulkan kontroversi di masyarakat.
Ia menegaskan MUI minta penundaan pembahasan RUU PKS dengan alasan karena lebih dari 50 persen materinya berbeda antara pemerintah dan DPR RI, sehingga perlu ada pendalaman lebih lanjut.
Namun di sisi lain, lanjut Zainut, MUI minta kepada DPR sebelum akhir tugasnya untuk segera merampungkan beberapa pembahasan RUU yang belum selesai dibahas bersama pemerintah.
RUU tersebut, kata Zainut, adalah RUU KUHP, RUU Pesantren dan RUU Perkoperasian. Namun, meskipun MUI meminta untuk segera dilakukan pengesahan terhadap beberapa RUU, MUI tetap mengajukan beberapa catatan usulan.
Terhadap RUU KUHP, MUI mengusulkan beberapa catatan yakni, mendorong penetapan hukuman mati. Hukuman mati dimasukan sebagai pidana alternatif dari tindak pidana yang bersifat khusus.
Perluasan delik zina, kata Zainut, zina diperluas cakupannya meliputi hubungan laki-laki dan perempuan yang salah satu dari keduanya terikat atau tidak terikat perkawinan. Selain itu, pemberlakuan hukum sosial, sebagai alternatif pemenjaraan.
Untuk RUU Pesantren, lanjut Zainut MUI mengusulkan catatan memperkuat fungsi pesantren antara lain fungsi pendidikan, fungsi dakwah dan fungsi pemberdayaan ekonomi umat. Selain itu, ciri khas pesantren tidak boleh dihapus, hal ini dimaksudkan untuk mempertahankan tradisi dan nilai-nilai yang hidup dan tumbuh di pesantren.
“MUI menolak adanya formalisasi pesantren, hal ini untuk menjaga kemandirian pesantren,” ucap Zainut.
Terhadap RUU Perkoperasian, MUI mengusulkan agar diatur juga tentang koperasi syariah hal ini untuk mengakomodasi aspirasi masyarakat perkoperasian yang menggunakan sistem syariah. (johara/win)