Thursday, 12 December 2019

Kenapa Pada Latah Ngompori Keluarga Jokowi Jadi Walikota?

Rabu, 18 September 2019 — 7:22 WIB
calon

DI negara demokrasi rakyat bebas berpendapat. Tapi saking bebasnya, kadang gagasannya tak bermutu. Mentang-mentang Jokowi sukses di birokrasi, dari walikota, gubernur sampai presiden, lalu ada yang ngompori keluarganya jadi birokrat. Gibran Rakabuming Walikota Solo, Boby Nasution Walikota Medan. Jan Ethes mau dijadikan camat mana pula?

Manusia Indonesia memilih calon pemimpin tidak selalu berbijak pada bobot (kwalitas), tapi cenderung pada bibit (keturunan). Jika anak tokoh penting, diyakini dia akan menjadi sukses seperti ayahnya dulu. Bukankah pepatah lama mengatakan, buah akan jatuh tak jauh dari pohonnya. Jika pohonnya kena angin ribut, atau tumbuh di pinggir kali; bagaimana?

Rakyat dulu memilih Megawati, karena melihat dia anak Soekarno presiden pertama RI. Puan Maharani ikut Pileg selalu dapat suara terbanyak, juga karena melihat dia anak Megawati dan cucu Soekarno. Begitu pula Eddy Baskoro, selalu lolos ke DPR dari Dapil Pacitan Jawa Timur karena dia putra SBY.

Nah sekarang, yang sedang berkibar bendera Jokowi. Dari pengusaha meubel sukses jadi Walikota Solo, naik jadi Gubernur DKI Jakarta, lalu meloncat jadi Presiden RI dan kini sedang hendak menapaki periode keduanya. Terlepas dari plus minusnya, sosok Jokowi kini  berimbas pada keluarganya, dijadikan komoditas politik oleh pihak tertentu.

Misalnya Laboratorium Kebijakan Publik Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Solo. Liwat surveinya mencoba ngompori Gibran Rakabuming untuk ikut bursa walikota Surakarta pada Pilkada serentak tahun 2020. Kemudian Boby Nasution anak menantu Jokowi, juga dikompori Nasdem untuk maju dalam Pilwalkot Medan 2020 juga.

Publik pun mulai bertanya sinis, lama-lama Jan Ethes cucu Presiden Jokowi yang tinggal di Solo, mau dijadikan camat mana nih? Bisa di Pasar Kliwon, Lawiyan, Serengan atawa Banjarsari? Habisnya, orang-orang pada latah, sehingga publik pun jadi nyinyir di luar akal sehat.

Kesuksesan bapaknya di birokrat, belum tentu akan diikuti oleh anaknya. Yang dikompori pun belum tentu mau. Gibran misalnya, hanya komentar dingin, “Kalau sudah dibuka pendaftaran, kasih tahu ya!” Begitu juga Boby Nasution, tentunya akan konsultasi dulu dengan keluarga.

Di Negara demokrasi orang memang bebas berpendapat apa saja, termasuk menggagas yang naif-naif. Tapi ngompori keluarga presiden untuk terjun ke eksekutif ngurus birokrasi, kan sama saja memberi ruang pemimpin membangun dinastinya. Padahal dulu dinasti Ratu Atut di Banten, banyak ditentang public. (gunarso ts)