Thursday, 12 December 2019

Perppu UU KPK, Pisau Bermata Dua

Kamis, 26 September 2019 — 6:42 WIB
Unjuk rasa di depan gedung KPK Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan. (toga)

Unjuk rasa di depan gedung KPK Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan. (toga)

JAKARTA – Pemerintah didesak peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) untuk menggantikan UU KPK. Menghadapi desakan itu Presiden Joko Widodo diminta berhati-hati dalam mengambil keputusan.

Pengamat politik dari Universitas Pelita Harapan, Emrus Sihombing, menilai selain meredakan tensi politik, keputusan menerbitkan Perppu UU KPK juga bisa membawa dampak yang dapat memperkeruh kondisi politik Indonesia. 

“Karena bisa saja mengeluarkan (Perppu) itu bisa memperkeruh suasana atau bisa juga menjernihkan suasana,” ujarnya kepada poskotanews.com, Rabu (25/9/2019).

Menurut Emrus para penasihat Presiden harus mampu memberikan masukan terkait sikap perlunya penerbitan Perppu. Masukan dan tokoh masyarakat dan pakar, imbuh dia, juga peelu didengar Jokowi agar tidak berdampak pada aspek sosiologis, politis dan psikologis.  

“Penasihat presiden harus  memberikan masukan-masukan kepada presiden apakah memang sudah momentum yang pas untuk tidak mengeluarkan atau mengeluarkan perppu tersebut. Karena harus dipertimbangkan  dari aspek sosiologis, politis dan psikologis.  Tiga faktor ini yang akan menjadi pertimbangan untuk mengeluarkanatau tidak mengeluarkan,” jelasnya.

“Biisa juga masukan secara informal dengan mengundang para pakar di bidangnya berdiskudi memberikan masukan,” imbuhnya.

Lebih lanjut, Direktur Eksekutif Emrus Corner ini mengingatkan urgensi penerbitan sebuah Perppu. Dia menegaskan Perppu bisa diterbitkan hanya jika keadaan dianggap  genting atau darurat.

 “Kita harus melihat apakah Perppu sudah waktunya. Karena perppu dikeluarkan kalau dalam keadaan genting sekali. Kalau itu masih bisa dikelola dengan baik dengan penjelasan  pendekatan, pemberian pemahaman, saya kira tidak perlu dikeluarkan,” pangkas Emrus.  (ikbal)