Oleh: Harmoko
SETIAP orang, apa pun profesinya, membutuhkan kritik. Begitu pun lembaga – lembaga pemerintahan, institusi negara. Bahkan, lembaga legislatif yang tugasnya mengawasi, mengkritisi pemerintahan, tetap memerlukan kritik.
Mengapa? Kritik diperlukan untuk perbaikan. Memperbaiki kesalahan dan kekurangan. Tanpa kritik kita tidak mengetahui pasti apa yang menjadi kekurangan terhadap apa yang telah kita kerjakan.
Tanpa kritik, kita tidak tergerak hati mengubah perilaku menjadi lebih baik. Sebaliknya dengan bersedia menerima kritik dari orang lain, kita akan mendapatkan banyak masukan yang menjadi bahan penting pelajaran.
Kotak pengaduan dan sejenisnya sekarang menjadi “info pengaduan” yang ditempatkan di semua kantor pelayanan publik, sejatinya menjadi bagian inti dari upaya untuk “mengundang” dan menerima kritikan dari pelanggan, alias mereka yang dilayani.
Tujuannya, untuk memperbaiki dan meningkatkan pelayanan. Bahwa, dalam pengaduan yang disampaikan pelanggan, adakalanya berisi kata- kata yang menyakitkan, itu sebuah konsekuensi yang tak bisa dihindari. Bagaikan sambal, pedas tapi dicari. Sehingga ada rasa sesuatu yang hilang bila makan tanpa sambal. Itu risiko membuka kotak pengaduan.
Bahkan, kotak pengaduan, kotak saran, info pengaduan atau apa pun namanya yang bertujuan menerima masukan dari masyarakat, telah menjadi satu syarat Standar Operasional Pelayanan (SOP) dalam setiap kantor pemerintahan dari pusat hingga daerah.
Ini dilakukan, karena pada dasarnya kantor pemerintahan dibentuk untuk memberikan pelayanan, melayani publik. Untuk memberikan pelayanan terbaiknya, maka diperlukan saran dan kritik dari mereka yang dilayani.
Sejauh mana pelayanan telah berjalan dengan baik, akan terlihat dari sedikit banyaknya pengaduan. Pelayanan yang jauh dari kritik tidak berarti telah baik. Boleh jadi, karena tak dianggap penting, maka kritik pun tidak pernah tampil.
Sebaliknya yang banyak menerima kritikan, bukan berarti tidak baik. Justru itu menunjukkan banyak memberi masukan dan kritikan karena memiliki kepentingan dengan pelayanan tersebut. Semakin baik dan meningkatnya pelayanan, maka publik akan semakin diuntungkan.
Ini jika kritikan didasarkan kepada kepentingan umum. Didasarkan atas fakta, dengan disertai data, bukan sebatas retorika atau “asal ngomong.”
Di era digital sekarang ini, dengan euforia media sosial, setiap orang dengan mudahnya bisa menyampaikan kritik.
Tetapi melalui media apa pun, hendaknya kritik disampaikan secara santun, penuh etika dan adat budaya. Tidak asal kritik. Orang bebas melakukan kritik, tetapi bukannya tanpa batas sebagaimana termaktub dalam uraian pasal 28 UUD 1945.
Di sisi lain, sesuai dengan eranya, yang kita butuhkan sekarang adalah kritik yang membangun, bukan membangun kritik dengan landasan kebencian. Kritik tidak mengandung provokasi, propaganda, dan agitasi. Kritik juga tidak menyajikan data yang tidak mengandung kebenarannya alias hoax.
Itulah sebabnya, kritik menjadi baik dan konstruktif, jika :
Pertama, adanya niat untuk perbaikan, bukan menebar keburukan.
Kedua, disertai alasan yang jelas, mengapa kritik perlu disampaikan
Ketiga, kritik bukan didasari oleh emosi, iri, marah dan dendam serta fitnah.
Keempat, jauhkan kritik dari urusan pribadi.
Kelima, kritik bukan untuk menjatuhkan seseorang, tetapi justru membangun orang lain menjadi kuat dan semangat.
Sering dikatakan “Jika kita harus mengkritik orang lain, pastikan kritikan itu demi untuk kemajuan orang tersebut. Bukan karena kita membencinya, apalagi ingin menjatuhkannya.”
Jika kritik sudah dilandasi oleh sikap iri dan ketidaksukaan kepada seseorang, dapat diduga kritikan yang disampaikan akan jauh dari upaya perbaikan, apalagi memberikan solusi.
Sementara kita tahu betul, kritik akan lebih bermanfaat jika tidak sebatas mengurai kekurangan, tetapi ikut memberi solusi.
Tetapi tidak semua kritikan seperti demikian adanya. Tidak jarang hanya mengada – ada. Tapi meski begitu tidak lantas yang dikritik sakit hati.
Terimalah segala bentuk kritikan sebagai cambuk diri agar menjadi lebih baik lagi.
Kritik itu kadang memang menyakitkan hati, tapi hanya dengan cara itulah kita bisa memperbaiki diri agar menjadi lebih baik lagi.
Jangan biarkan kritik mematahkan semangat. Justru dengan kritik, kita bisa selalu belajar dan siap menghadapi masalah.
Jangan melihat kritikan orang lain sebagai sebuah kebencian atau ejekan. Jadikankanlah itu sebagai kesempatan untuk memperbaiki diri sendiri.
Bahkan sebenarnya, kita dikritik karena dianggap penting, setidaknya oleh mereka yang mengeritik.
Kritikan itu pahit tetapi mendidik jiwa jika diterima dengan penuh kesadaran. Pujian itu manis tetapi merusak hati jika diterima dengan begitu saja, tanpa sikap kritis. Karena hampir pasti, tidak semua pujian itu tulus. Tidak semua kritik itu menjatuhkan.
Pesan moral yang hendak disampaikan adalah “Kenali diri sendiri sebelum mengenali orang lain. Komentari diri sendiri sebelum mengomentari orang lain. Kritik diri sendiri, sebelum mengkritik orang lain.” (*).