DALAM pemerintahan Jokowi, ASN benar-benar “dimanjakan”. Dulu yang dapat libur Jumat itu hanya sekolah Muhamadiyah, khususnya di DIY. Sekarang, ASN juga akan dapat tambahan libur hari Jumat, tapi bagi yang berprestasi. Bahkan pada ASN berkualifikasi tertentu, nantinya akan diizinkan kerja dari rumah saja.
Jaman Belanda, ambtenar atau pegawai negeri, menjadi idaman setiap orang termasuk calon mertua. Sebab bekerja di pemerintah itu stabil, takkan terpengaruh oleh gonjang-ganjing ekonomi. Maka orangtua selalu mencekoki anak-anaknya dengan kata-kata ini, “Kerja itu paling aman jadi PNS, meski gaji kecil takkan terancam bangkrut.”
Sebelum ada UU ASN, pegawai negeri memang bisa bekerja seenaknya, karena ada “motto” PGPS alias: (P)intar (G)oblok (P)enghasilan (S)ama. Kerja jadi PNS, yang dilihat ijazahnya, bukan kemampuan atau skill-nya. Untuk jadi PNS, biar punya keahlian langka, jika tak didukung oleh ijazah tak mungkin diterima.
Kini ada istilah TKD (Tunjangan Kerja Dinamis), yang menerima hanyalah yang kinerjanya bagus. Yang punya kebiasaan DBPD (Datang Belakangan Pulang Duluan), jangan harap memperolehnya. Ujung-ujungnya ASN model begini hanya dilempar (dimutasi) ke sana kemari. Soalnya, memecat ASN juga tidak mudah.
Kabinet Indonesia Maju dengan Kementrian PPN & Bappenas, merencanakan, 1.000 PNS tertentu akan diberi dispensasi bisa kerja dari rumah. Ini diberlakukan mulai Januari 2020. Mereka bisa bekerja lewat jaringan internet. Sebab bagi orang-orang ini, yang penting bukan kehadirannya, tapi hasil kerjanya.
Ada “bonus” tambahan libur hari Jumat, yakni bagi ASN punya kualifikasi tertentu. Sebagaimana aturan ASN, selama 2 minggu (10 hari) jam kerjanya 80 jam. Jika ASN ini bisa menyelesaikan pekerjaannya selama 9 hari, maka hari Jumatnya bisa libur.
Asyik betul, kan? Hari Jumat bisa libur, seperti sekolah Muhammadiyah di DI Yogyakarta. Bagaimana jika hari Rabu-nya kebetuan libur nasional? Apakah ASN paradigma baru juga masih mau menggunakan Harpitnas alias Hari Kejepit Nasional. (gunarso ts)